Ini part pembuka buat konflik utama. I'm so excited ><
Enjoy!
***
Aira : Cantik ya simpenan kamu.
Ardan mengerutkan kening membaca pesan itu, tidak mengerti.
Kini ia sedang berada di rumah salah satu teman sekelasnya yang tengah berduka karena kedua orang tuanya baru saja meninggal beberapa jam yang lalu. Tadi Ardan sedang berkumpul bersama teman teman ekskulnya saat melihat Leyna, perempuan yang cukup akrab dengannya, tiba tiba berlari tergesa gesa ke arah gerbang. Ardan langsung mengantar Leyna pulang saat tahu apa yang terjadi.
"Kenapa tuh muka? Asem banget kayanya." Bagus tiba tiba menepuk pundak Ardan yang sedang terdiam.
Ardan menoleh, mengusap wajahnya dengan telapak tangan. "Pacar gue tiba tiba ngechat kayak gini, maksudnya apa ya?"
Bagus terdiam sebentar, memperhatikan lamat lamat isi chat Aira yang ditunjukkan oleh Ardan.
"Jangan jangan dia liat lo bonceng Leyna?" Tebak Bagus.
Ardan terdiam sebentar. "Kayanya engga deh, SMA Permata kan jauh dari sekolah kita. Masa iya dia liat?"
"Dan, denger nih pepatah gue." Bagus berdehem. "Mata cewek lo mungkin cuma 2, tapi mata mata dia bisa jadi lebih dari 22."
Ardan tidak terlalu mendengarkan ujaran temannya, ia fokus membalas pesan dari Aira.
Ardan : Maksud kamu Leyna?
Ardan : Ortunya baru aja meninggal, Ra. Aku cuma nganter dia pulang doang, bukan selingkuhPesan itu hanya mengapung di udara, tidak dibalas oleh Aira meski setelah beberapa jam.
***
Sore, pukul 16.23
Mobil Ardan berhenti di depan rumah mewah keluarga Aira. Rumah besar itu tampak sepi, mungkin karena orang tua dan kakak Aira sedang keluar.
Ardan memang sering datang ke sini, tapi tidak seperti sebelumnya, kali ini Ardan menekan bel, menunggu Aira datang dan membuka pintu. Ardan tahu kondisi Aira pasti sedang tidak baik jadi ia memutuskan menunggu.
Tak lama, pintu depan terbuka, menampilkan sosok Aira yang tak seperti biasanya. Rambut lurusnya tampak dicepol asal, kantung matanya menghitam, kentara sekali dengan kulit cerahnya.
"Ra," panggil Ardan dengan senyumnya.
"Ngapain kamu ke sini?" Ketus Aira.
Ardan menghela napasnya, "Kamu marah?"
"Menurut kamu?" Aira memutar matanya.
"Ra, c'mon, ini cuma masalah yang simple banget dan kamu sampe segininya ke aku?" Ardan menatap Aira heran, "Kamu kenapa sih, Ra?"
"Nanya kamu?! Aku liat kamu pelukan sama cewek itu dan kamu masih nanya aku kenapa?! Bisa mikir gak sih, Dan?!" Aira berteriak.
Ardan sedikit kaget mendengarnya. Meski kepalanya mendadak ikut mendidih, Ardan masih mencoba menahan emosinya. "Ra...,"
"Apa?!" Sedangkan Aira sama sekali tak bisa tenang.
Ardan terkekeh, meski kepalanya ingin meledak, ia tetap berusaha lembut pada Aira. "Hei, jangan marah gitu dong. Makin gemesin tau."
"Aku gak lagi bercanda, Ardan!!"
"Uluh uluh, Aira sayaang," Ardan mendekat selangkah, Aira mundur. "Kita bahas lain kali lagi ya? Sini peluk, peluk."
Ardan merentangkan tangannya, siap mendekap Aira kapan saja. Ardan sungguh lelah hari ini, ia tak ingin menambah bebannya sendiri dengan bertengkar dengan Aira.
Tapi Aira tidak begitu, ia terlalu dalam terbakar api cemburu hingga tak bisa berpikir sama sekali. "Ardan!!!"
"Apa?!!" Kini Ardan tak bisa lagi membendung emosinya, usahanya bertindak dengan kepala dingin seolah tak dihargai dan Ardan lelah.
Aira tercekat, baru kali ini Ardan terlihat begitu marah padanya. Mata elangnya menatap semakin tajam, kilat amarah itu dapat Aira lihat dengan jelas. Bahkan saat Ardan mengetahui rahasianya dengan Ari pun ia tak marah pada Aira. Aira terkejut, tapi berusaha membalas tatapan itu.
"Aku cuma berteman sama dia dan kamu gak punya hak ngelarang aku! Aku--" ucapan Ardan terpotong.
"Punya!" Aira menahan tangisnya, "Aku pacar kamu jadi aku punya hak buat larang kamu deketin cewek lain!"
"Tapi mereka temen aku, Ra!"
"Gak peduli!!" Aira sudah sampai di puncaknya. "Aku gak peduli mau dia temen kamu, sahabat kamu, orang asing di hidup kamu, atau apapun, aku gak peduli! Aku tetep gak mau kamu deket sama dia apa lagi sampe pelukan!!"
"Kamu gak ngerti!" Ardan mengusap wajahnya gusar, "Orang tuanya baru aja--"
"Apa?" Potong Aira. "Mati? Biarin! Terserah! Kamu tetep gak boleh kayak gitu! Aku gak peduli mau orang tuanya mati, diracun, kelindes truk, bodo! Bodo amat! Pokoknya kamu--"
"Aira!!!"
Aira langsung diam, Ardan menatapnya lebih tajam. Lebih mengerikan dari seekor singa terluka. Ardan seolah bisa membunuhnya kapan saja.
Tidak ada lagi Ardan yang lembut dan manis, Aira telah mengubah sosok itu menjadi monster mengerikan sekarang.
"Lo keterlaluan, Aira." Ucap Ardan dingin.
"A-Ardan..." suara Aira mulai bergetar, amarahnya sirna, tergantikan rasa takut.
"Cukup." Ardan menggeram marah, "Gue udah muak sama lo dan semua sikap kekanak kanakan lo."
"Ardan--"
"Diem!!!" Ardan memotong. "Gue capek sama lo! Gue mau putus!"
Deg!
Aira tidak bisa berkata kata. Semua kosa kata yang ia miliki seolah ditarik keluar kepala. Aira membisu. Hanya bisa diam seperti batu saat Ardan memutuskan pergi, meninggalkannya sendirian dalam sepi sore itu.
Tangisnya pecah, tak lagi terbendung. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumahnya. Aira tak bergerak. Sampai Dimas keluar dari mobil itu, wajahnya tampak cemas.
"Aira!" Dimas berdiri di depan adiknya, memegangi pundak Aira. "Ra. Lo kenapa, Ra?"
Aira hanya menatap lurus dengan pandangan kosong. Zia pergi, Ari pergi, dan sekarang Ardan juga pergi. Kepada siapa lagi Aira harus bersandar? Aira rapuh, dan semakin rapuh hari ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurt [END]
Ficção AdolescenteArdan Oliver jatuh cinta pada Aira, si bungsu kesayangan mama dan papa. Namun alih-alih setia kepada Ardan sepenuh hati, Aira masih saja terpana oleh teman sekelasnya, Ari. Kurangnya rasa bersyukur membuat Aira kehilangan keseimbangan akan dunianya...