67. Cinta Pangeran Batu

23 6 4
                                    

Aira sakit selama tiga hari, lagi.

Semuanya gara gara Arsen. Aira tidak bisa berhenti menyalahkan laki laki itu atas keadaannya. Sebab Aira yakin tubuhnya kebal dari segala macam virus ringan, jadi ia tidak mudah sakit.

Yang membuatnya sakit secara tiba tiba seperti ini hanya satu. Banyak pikiran. Dan Arsen adalah pelaku utama yang membuat Aira menggunakan otak untuk berpikir di luar kapasitas normalnya.

Apakah Arsen datang menjenguk? Sayangnya, tidak.

Jangankan datang menjenguk, mengirim pesanpun tidak Arsen lakukan. Dan Aira terlalu bimbang untuk mengirim pesan duluan. Ia bahkan masih tidak yakin kalau Arsen adalah pacarnya.

Ini hari ketiga, dan Aira masih belum menunjukkan ciri ciri akan pulih. Tubuhnya masih panas dan kepalanya masih agak berat. Yang bisa ia lakukan hanya berguling di kasur sambil main hp.

Jika lapar, ia akan mengirim pesan atau menelepon Dimas. Laki laki itu dengan telaten merawat adiknya.

"Nih, minum obat." Dimas menyodorkan air putih dalam gelas pada Aira yang duduk bersandar pada kepala ranjang.

Saat akan menerimanya, ponsel yang ia letakan di bawah bantal tiba tiba berdering. "Bentar, Bang."

Dimas mengangguk.

Aira sedikit kaget menemukan kontak dengan nama 'Crush 🗿' meneleponnya.

"Halo?" Sapa Aira dengan suaranya yang masih agak serak.

"Gue di depan."

"Hah?" Aira cengo sendiri.

"Boleh masuk?"

"I--iya, gue di kamar."

Sambungan di putus dan Aira masih terdiam.

"Pacar lo?" Tanya Dimas sambil memberikan gelas berisi air putihnya lagi.

Aira menerimanya dan mengangguk, mulai meminum obatnya satu persatu.

"Dingin banget ya orangnya. Kayak kulkas 42 pintu." Ujar Dimas. Ia memang mendengar ucapan Arsen tadi saking heningnya rumah ini.

Aira hanya mengangguk untuk menanggapi. Kalimat itu seperti familiar di telinganya, ia seperti pernah mendengar seseorang mengucapkannya sebelumnya.

Tok tok tok.

Ketukan pintu itu pasti dari Arsen.

"Masuk," Aira dan Dimas berujar bersamaan.

Arsen masuk dengan sebuah tas belanja di tangannya.

Dimas yang mengerti keadaan segera berdiri sambil membawa nampan berisi gelas dan obatnya pergi. Ia menyempatkan menepuk bahu Arsen dan berbisik.

"Jagain adek gue."

"Hm." Arsen mengangguk.

Arsen duduk di tepi ranjang, tempat Dimas sebelumnya. Ia menyerahkan belanjaannya pada Aira.

"Gak mau nanya apa apa gitu?" Aira menatap Arsen sinis.

Arsen hanya diam.

"Nanyain udah makan atau belum gitu, gimana keadaan gue gitu." Aira menjelaskan.

"Lo udah minum obat, artinya udah makan." Arsen menjawab logis. "Lo udah bisa ngebacot panjang, artinya udah mendingan."

Jawaban itu tentunya membuat Aira mendengus.

Arsen yang hendak bicara terpaksa menelan kembali kalimatnya saat merasakan ponsel di saku celananya bergetar. Ia segera mengeluarkan benda pipih itu dan menempelkannya ke telinga.

"Yo."

"Sibuk gak?" Seseorang di ujung sana bertanya.

"Engga. Kenapa?"

"Siapa?" Tanya Aira tanpa suara, hanya bibirnya yang bergerak.

Arsen memasang loadspeaker agar Aira bisa mendengar siapa yang bicara dengannya di seberang sana.

"Gue mau ngajak ketemu doang. Udah lama kan kita ga nongki."

Aira terdiam, itu Ardan.

"Lo kalo mau bawa cewek lo juga boleh. Nanti gue datengnya sama Willa."

"Double date!" Suara Willa ikut terdengar dari ujung sana, nadanya amat ceria.

Arsen menoleh pada Aira, meminta jawaban.

Aira hanya mengangguk dengan matanya yang memerah. Tetap sakit mengetahui Ardan sedang bersama Willa di sana.

"Kapan?" Tanya Arsen dingin, seperti biasa.

"Kapan nih, sayang?" Ardan terdengar meminta saran dari Willa.

Arsen diam diam menggenggam tangan Aira yang mengepal di balik selimut, menahan tangis. Saat Aira menoleh ke arahnya, Arsen hanya menatap ponselnya dengan datar seolah tidak terjadi apa apa.

"Besok aja, mumpung Sabtu jadi aku free." Terdengar jawaban dari Willa.

"Okedeh. Besok katanya, Sen."

Aira mengangguk lagi sebagai jawaban saat Arsen menoleh padanya dengan alis terangkat.

Sebelum mengiyakan, Arsen menempelkan punggung tangannya pada kening Aira untuk merasakan suhu tubuhnya. Masih sedikit panas, tapi sepertinya besok siang akan lebih baik.

"Oke." Jawabnya pendek.

"See you di kafe Harapan yaa!" Itu suara Willa.

Dan panggilan diakhiri.

Aira menghela napasnya, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuknya.

"Jangan nangis." Kata Arsen datar.

"Gue ga nangis kok." Aira tersenyum sok kuat. "Gue kan strong girl, pretty girl, smart girl, eh... apa lagi ya?" Tanyanya lebih ke diri sendiri.

"My girl." Arsen menepuk nepuk kepala Aira.

Aira bisa merasakan pipinya mulai memerah. Ternyata pangeran batu punya caranya sendiri dalam menunjukkan cinta.

***

Funfact :
Aing baper sendiri pas nulis adegan Arsen yang paling akhir :(

Sekian.

-devina

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang