50. Kenangan yang Menghadang

17 11 0
                                    

"Ra!!"

Aira sedang fokus mengirim foto fotonya bersama Arsen dari ponsel milik Ardan saat suara cempreng itu terdengar memanggilnya.

"Dipanggil tuh nyaut, jangan malah pacaran!"

"Ish, bawel." Aira memutar mata saat Setia sudah berdiri di depannya.

"Yuda sama yang lain udah nunggu di kelas." Setia mengingatkan.

"Iya, iyaaa." Aira mendengus.

Menghampiri Ardan yang sibuk dengan Arsen, menarik narik lengan kemeja kotak kotak biru yang dipakainya.

"Ardan," Aira memanggil pelan.

Ardan menoleh, "Hm? Kenapa, Ra?"

"Temen temen udah dateng, kamu kalo mau pulang atau kemana dulu boleh, nanti aku telepon kalo kerkomnya udah selesai."

Ardan tersenyum, mengusap lembut rambut gadisnya. "Iya, sayang. Semangat ya kerja kelompoknya."

Aira mengangguk, tersenyum manis.

"Ekhm!!!" Setia memberi kode agar Aira berhenti ngebucin.

"Bye, pacar." Ardan mengacak puncak kepala Aira.

"Bye, Ardan, Arsen." Aira melambai lalu mendekati Setia yang sudah menunggu.

"Lo masih sama Ardan?" Tanya Setia saat keduanya mulai menjauh dari lokasi Ardan dan Arsen.

"Masih." Aira menjawab seadanya.

Setia memang sedikit mengenal Arsen dan Ardan, sebab mereka sama sama alumni SMP Juara dulunya.

"Terus si Ari gimana?"

"Ya... gitu. Gak gimana gimana." Sebenarnya Aira bingung menjawab apa, ingin bercerita pun terasa aneh sebab ia dan Setia tidak pernah sedekat itu.

"Lo selingkuh ya sama Ari?" Tuding Setia asal.

"Enggalah, anjir." Aira terkekeh, menutupi kebenaran yang ada.

Setia hanya mengangguk, lantas melangkah melewati pintu kelas, mendahului Aira.

Di kelas sudah ada Yuda, Radit, dan Nata yang membawa sekardus penuh barang barang untuk membuat kerajinan kelompok mereka. Kerajinan yang harusnya sudah dikumpul minggu lalu, tapi karena anggota kelompok mereka kerjanya hanya main terus, ya terpaksa kebut sehari.

"Hola, hai, haloo, miss universe baru datang ini, tolong karpet merahnya digelar." Setia berseru heboh.

Namun Nata, Yuda, dan Radit hanya menatapnya dalam diam membuat suasana jadi garing.

"Sialan lo semua." Setia mendengus. Duduk di salah satu meja dan mengambil potongan kardus yang sudah disiapkan. "Udah ah, buruan kerja. Males gue lama lama di sini."

Aira terkekeh, mengambil duduk di sebelah Setia dan menopang dagunya. Kegiatan kerja kelompok pun dimulai sore itu. Tentu dengan tingkah sengklek Radit dan Yuda yang membuat Nata kewalahan karena dia yang paling waras.

Setelah beberapa menit heboh, terciptalah sebuah keheningan panjang saat mereka mulai fokus dengan tugas masing masing.

"Sayang banget ya si anu ga dateng." Yuda yang sedang memotong botol bekas bersuara, memecah hening.

"Biarin. Kalo dateng juga buat apa? Palingan ngebucin." Radit menimpali sambil memotong kain flanel warna merah.

"Bacot lu berdua." Setia yang sedang fokus memotong kardus tidak ingin terganggu.

"Emang si anu siapa?" Tanya Nata ingin tahu.

"Itu loh, si Anuuu." Kata Yuda sok misterius.

"Yang inisialnya A A A A A A ituuu." Radit menambahkan.

"A lo kebanyakan nyet." Yuda mengoreksi. "A A A yang bener."

"A A?" Beo Nata bingung. "Ooh, si Ari?"

"Iya." Yuda dan Radit menjawab bersamaan.

"Ari kan bukan kelompok kita." Ucap Nata dengan polosnya.

"Aduh, si Nata kayak ga tau aja." Setia yang sejak tadi diam akhirnya bersuara.

"Tau nih, Nata. Bego apa bodoh sih lo." Radit terkekeh, melempar kain flanel merah pada Aira yang bengong.

Melihat kode dari Radit, barulah Nata mengangguk anggukkan kepalanya. "Ooh, yang itu."

Aira mendengus, mengambil potongan kain yang dilempar Radit dan menumpuknya dengan kardus, lantas membuat garis sesuai panjang kain. Kardus itu nantinya akan dipotong oleh Setia.

Sambil memasang wajah sok santai, Aira memulai pekerjaannya. Dalam hati, ia memekik frustasi karena ucapan teman temannya barusan. Sebab mereka tidak tahu bahwa jauh di dalam sana Aira sedang mencoba untuk lupa.

Mereka tidak tahu kalau setiap ada yang menyebut nama itu, Angga Ari Adnyana, Aira akan merasa ditarik paksa kembali ke masa itu. Kembali ke suasana yang sama, ke hari hari yang sama. Saat semuanya masih terasa sempurna, saat keduanya merasa dikelilingi cinta.

Pada mulanya Aira akan senang, tapi tak butuh waktu lama untuk kemudian ia menyesal. Aira akan sangat menyesal karena seluruh memorinya bersama Ardan hari itu akan terputar begitu saja. Termasuk bagaimana Ardan menatapnya, bagaimana Ardan menciumnya, dan bagaimana Ardan memeluknya seolah tidak terjadi apa apa.

Semua hal menyakitkan itu membuat Aira bertekad untuk segera lupa, bagaimanapun caranya. Tapi bagaimana niatnya bisa terlaksana jika selalu saja ada kenangan yang menghadang?

***

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang