9. Kue Pengantin

57 43 9
                                    

Jika ada hal paling menyenangkan bagi seorang siswa maka jawabannya pastilah jam kosong, ya, apa yang lebih baik dari hujan gerimis di hari senin, plus jam kosong di mata pelajaran Sejarah?

Siang ini Aira merasa kelasnya tak ubah surga dunia, suasana ricuh yang selalu Aira sukai karena ada keseruan tersendiri di dalamnya. Hujan deras di luar membebaskan mereka menjadi seribut apapun, tidak akan ada guru yang mau repot repot berjalan jauh jauh dari ruang guru menembus hujan lebat hanya demi menegur siswa yang ribut di kelas, Aira bahkan ragu suara ributnya didengar. Para siswa mulai berkumpul mencari temannya masing masing, ada yang main game, ngerumpi, tidur, ada pula yang mengadakan konser dadakan di pojok.

Dalam situasi kali ini, Aira termasuk ke golongan yang sedang main game. Jarinya dengan lincah menggeser geser tubuh bocah lelaki berhoodie yang sedang lari dikejar polisi dan seekor anjing.

"79.000 gaslah new high score." Gumamnya pada diri sendiri.

"Halaah, paling bentar lagi keok." Suara yang familiar namun sekaligus terasa asing itu seperti berbisik tepat di telinga Aira, padahal Ari berdiri dua langkah di sampingnya.

"Heh, nantangin lo?" Aira mengacuhkan desir aneh yang mengalir dari kuping menuju dadanya, menimbulkan degup baru. "Aira ni bosh, pro pleyer." Katanya, lalu terkekeh.

"Anjaay." Ari balas terkekeh, memperhatikan gerakan jari Aira yang terlampau lincah, bocah laki laki berhoodie itu kini menaiki skateboard dan dengan lincahnya menghindari segala rintangan. "Wah, pro beneran ternyata."

"Yoi." Aira semakin bangga, senyumnya mengembang lebar.

Setidaknya sampai Rini, salah satu teman sekelasnya muncul dan menyela hati Aira yang sedang berdisco.

"Ih game apa tuh, pinjem pinjem." Rini merebut paksa ponsel Ari yang sedang dimainkan Aira.

Bocah laki laki itu menabrak gerbong kereta berjalan dengan naasnya.

"Inallilahi." Kata Ari prihatin.

Rini bangsat. Kata Aira dalam hati.

Ari tertawa melihat ekspresi datar Aira.

"Wanjir! Seru woy!" Teriak Rini heboh, teman teman sekelasnya yang lain jadi berebut ingin mencoba memainkan game masa kecilnya itu.

"Sini, Ra." Ari menarik lengan Aira, membiarkan Rini duduk di kursi yang tadinya ditempati Aira.

"Gue kan juga mau main gamenya." Aira memanyunkan bibir, sebal.

"Udah ih, sini duduk. Ngobrol aja." Ari mendudukkan Aira di sembarang bangku kosong yang ditinggal pemiliknya.

Aira menurut. Sekilas ia melirik jam dinding yang terpaku di depan kelas, di atas papan tulis, di sebelah gambar pak Jokowi. Pukul 13.57, tinggal 3 menit lagi menuju bel pulang.

3 menit sama Ari? Not bad. Katanya dalam hati.

"Perasaan kita udah mau setengah taun sekelas, tapi kok ga akrab akrab banget ya, Ra?" Celetuk Ari yang kini duduk di depan Aira, dipisahkan meja.

Aira mengangguk, mengiyakan. "Gue bahkan ga sadar ada manusia yang namanya Ari di kelas ini."

"Masa?"

"Engga sih, gue tau lo ada. Cuma kayak... transparan aja."

"Yah, sia sia dong gue nyari perhatian lo selama ini." Ari memanyunkan bibirnya. "Dasar ceue, terkejar tapi tak tergapai."

"Si anjir, Mariposa. Ahahahhaha!" Aira malah ngakak.

"Tawa lu." Ari semakin manyun.

"Etdah, gua cium juga lu manyun manyun gitu."

"Nih cium nih." Ari memajukan wajahnya ke arah Aira.

Plak!

"Mhh, enak dicium buku Sejarah?"

"Anjir!" Ari memegangi bibirnya, "Bibir indah gue."

"Hahahha!"

"Tega lo, Ra!"

"Bodo." Aira memeletkan lidahnya.

Kriiinggggggg

"YESS PULANG!!!" Ekspresi kesakitan Ari langsung berubah ceria, ia segera meninggalkan Aira dan menuju tempat duduknya untuk mengambil tas.

"Yah, ditinggal." Giliran Aira yang manyun.

15 menit kemudian, kelas sudah mulai sepi, menyisakan Aira, Zia, Yuda, Radit, dan Ari di kelas. Teman teman mereka yang lain sudah pulang menerobos hujan yang memang sudah tidak terlalu lebat, tapi mereka yang masih ada di kelas sedikit pikir pikir untuk menerobos karena mereka membawa motor.

"Udah mau reda nih, gaslah trobos aja." Kata Radit yang mulai melangkah meninggalkan kelas.

Aira duduk di meja di belakang Ari, ia menendang pelan kursi yang diduduki Ari, Ari menoleh.

"Lo gak pulang?"

"Nungguin lo tuh, Ra." Yuda yang menjawab.

"Anjir, jangan digodain mulu, kesian si Ari nanti kena mental." Aira menyikut lengan Yuda, berlagak menyuruh berhenti padahal ia sendiri senang digoda seperti itu.

Kali aja berawal dari 'cie dideketin' malah berlanjut sampe milih kue pengantin, ehe.

***

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang