73. Berakhir

22 7 0
                                    

Menuju ending!!
Enjoy-!!❤

***

Jumat sore, pukul lima.

Upacara pemakaman Arsen berjalan lancar sore ini. Banyak teman teman OSISnya yang datang, begitu juga wali kelas dan guru guru yang dekat dengan sosok Arsen semasa hidupnya.

Ardan dan Willa juga hadir di sana, tapi mereka sama sekali belum ada menyapa Aira. Aira sendiri sibuk mengurusi air matanya yang tak henti mengalir atas kepergian Arsen.

Semuanya terlalu sulit untuk Aira. Saat semua orang satu persatu meninggalkannya, Aira merasa tidak punya siapa siapa lagi sekarang.

Satu hal yang menarik perhatian  Aira sore ini, yaitu tidak ada satu pun keluarga Arsen yang Aira lihat hadir  di pemakaman. Hanya pria berjas yang Dimas bilang pengacara keluarga itu.

"Ra, ayo pulang." Lusi mengelus pundak Aira.

Satu persatu orang mulai meninggalkan area pemakaman setelah mengirim doa untuk Arsen.

Aira mengangguk, "Mama duluan aja, nanti Aira nyusul."

Lusi mengangguk, membiarkan putrinya kembali mendekati gundukan tanah basar bertabur bunga di sana. Dimas, Hendra, dan Lusi berjalan menuju mobil terlebih dahulu.

"Arsen," lirih Aira. "Kata Papa, gue harus pergi. Tapi gue bakal sering sering jengukin lo kok, gue janji, kalo gue ke sini lagi pasti bakal luangin waktu buat dateng."

Aira memaksakan senyumnya. "Gue sayang sama lo, Sen."

Setelahnya, Aira memejamkan mata. Membacakan doa untuk laki laki yang pernah membahagiakannya tanpa membuat setetes air matapun mengalir di pipi Aira.

"Thanks udah nepatin janji lo, buat ga bikin air mata gue jatuh selama lo ada di bumi." Aira mengusap nisan bertuliskan nama Arsen sebelum berdiri dan berjalan menjauh.

"Aira."

Panggilan itu menghentikan langkah Aira yang sudah beberapa meter meninggalkan makam Arsen. Saat menoleh, Aira menemukan Ardan dan Willa yang berlari mendekatinya.

Aira hanya diam. Ia sendiri tidak berniat melakukan apapun meski sekedar melempar senyum pada mereka.

Willa langsung memeluk Aira seperti sahabat lama. "Gue turut berduka, Ra. Apa lagi Arsen temen SMP kita. Tapi lo harus kuat ya, Arsen pasti ga suka juga liat lo sedih."

Aira hanya membalas perkataan Willa dengan anggukan. Begitu Willa melepas pelukannya, Aira langsung disambut dengan Ardan yang mengulurkan tangannya.

"Gue minta maaf," kata Ardan. "Dan mau ngucapin bela sungkawa buat lo."

Aira menjabat tangan Ardan. Bagaimanapun juga Aira bisa merasakan dengan jelas bahwa Ardan juga menyimpan luka. Entah bagaimana hubungan Ardan dengan Arsen setelah Aira jadian dengannya. Tapi tetap saja mereka berdua dulunya sepasang sahabat.

"Makasih," kata Aira pelan.

"Aira!!!"

Aira, Ardan, dan Willa menoleh ke sumber suara di saat yang hampir bersamaan. Mereka menemukan seorang gadis berambut hitam lurus yang dikuncir kuda berlarian mendekat.

"Lo Aira kan?" Katanya sambil menunjuk wajah Aira begitu sampai di depan mereka.

Aira mengangguk dengan ekspresinya yang tidak berubah, masih muram seperti sediakala.

Plak!

Satu tamparan sukses mendarat di pipi Aira dan meninggalkan bekas kemerahan. Tentu saja gadis itu yang melakukannya.

"Heh! Apa apaan lo?!" Willa mendorong bahu gadis yang 10 senti lebih pendek darinya itu.

"Udah, Wil." Aira berujar pelan.

Sontak membuat Willa mengurungkan niatnya yang hendak balas menampar gadis itu. Pasalnya, meski ia sudah tak sedekat itu dengan Aira, Willa masih tidak suka ada yang berbuat kasar pada sahabatnya.

"Gue emang pantes dapetin itu." Lanjut Aira.

Gadis yang menamparnya tadi adalah Yuni. Dan Aira sepertinya tahu apa yang membuat Yuni tiba tiba berteriak dan menamparnya.

"Sadar diri juga lo, bitch!" Geram Yuni. "Ini semua emang salah lo! Dan satu tamparan aja gak cukup buat bayar kesalahan fatal yang udah lo buat!!"

Aira diam. Ia menerima semua yang Yuni katakan.

"Kalo bukan gara gara lo, Arsen harusnya masih hidup!!! Arsen begini gara gara lo!! Lo ngancurin hidup orang, brengsek!!" Yuni terengah - engah, tangisnya tumpah ruah.

"Maaf," hanya itu yang mampu Aira katakan.

"Gak! Sampe kapanpun gue gak bakal maafin lo! Arsen mati gara gara lo!!" Yuni terisak.

"Udah!" Ardan mengakhiri perdebatan mereka. "Arsen baru aja pergi. Ga baik lo teriak teriak kayak gini."

Ardan menatap Yuni tajam, "Gue gak kenal siapa lo, tapi lo mending pulang. Gak ada gunanya lo bentak bentak Aira. Itu gak bakal bikin Arsen hidup lagi."

Yuni tak membalas ucapan Arsen, ia langsung berlari meninggalkan tempat Aira dengan tangisan yang semakin menjadi. Ardan mendekati Aira, menyentuh pipinya yang merah.

"Lo gapapa?"

Aira menjauhkan tangan Ardan dari pipinya. "Gapapa."

Ia mengusap air matanya kasar, "Gue harus pulang."

"Iya, Ra. Hati hati." Willa berujar.

Sebelum berbalik, ia merasa harus mengatakan sesuatu pada mereka berdua. "Wil, Dan, makasi banyak udah pernah jadi bagian penting di hidup gue. Makasi banyak udah pernah bikin hari hari gue berwarna. Jangan ngerasa bersalah, karena gue udah maafin kalian. Gue sama sekali gak nyesel kenal sama lo berdua. Gue justru bersyukur. Makasi ya."

"Omongan lo udah kayak mau nyusul meninggal aja, Ra." Celetuk Willa.

Ardan langsung menyenggol lengannya.

"Gue emang mau pergi kok." Aira menghela napasnya. "Besok."

"Heh!" Willa menutup mulut Aira. "Jangan aneh aneh! Ini lagi di kuburan!"

Aira menyingkirkan tangan Willa. "Bukan gitu maksud gue. Gue mau pergi ke Bali besok."

"Ooh." Willa memberikan anggukannya.

Tin tiiinnn!

"Gue duluan." Aira berbalik saat mendengar klakson mobil yang merupakan kode dari Hendra untuk segera datang.

Aira berjalan menuju mobil putih di luar pemakaman. Sepertinya, semuanya sudah berakhir hari ini.

***

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang