Baik Ardan maupun Willa sepertinya sama sama tidak punya ide kenapa Arsen membawa Aira ke tempat ini. Kafe Harapan, sebuah kafe kecil yang letaknya tak jauh dari SMP Juara.
Ya, ini adalah tempat PKL Willa.
Aira turun dari motor Arsen saat Arsen menyuruhnya. Tangan berkulit sawo matang milik laki laki itu segera menggenggam jemari cerah Aira.
"Kalian..." Willa bahkan tak mampu menyelesaikan kalimatnya.
Ardan pun terdiam dibuatnya. Ia jadi ingat kalimat Arsen yang pernah terlontar dulu.
"Gue gak akan ambil Aira dari lo. Tapi kalo lo lepas dia, dia bisa langsung jadi punya gue dalam sedetik."
Arsen memang tak pernah main main dengan apa yang diucapkannya.
Ardan berdehem, merangkul pinggang Willa seolah sengaja ingin memanasi Aira. "Ayo masuk."
Mereka berempat duduk berhadapan di sebuah meja. Aira duduk tepat di depan Willa yang asik bercanda dengan Ardan.
Aira memang ingin merasakan double date. Tapi bukan ini yang Aira inginkan, bukan ini yang dulu Aira harapkan. Ia ingin datang bersama Ardan, duduk bersama Ardan, dan tertawa bersama Ardan. Bukan seperti sekarang.
Sekarang, Ardan memang ada di sana. Tapi tangan yang Ardan genggam itu bukan milik Aira, rambut hitam yang Ardan mainkan pun bukan rambut Aira, senyum yang Ardan tampilkan bukan lagi untuk Aira, semuanya bukan lagi tentang Aira.
Bukan ini yang Aira mau. Aira ingin melihat Ardan duduk di sebelahnya, bukan di sebelah Willa. Aira ingin Ardan menggenggam tangannya, bukan tangan Willa.
"Lo mau pesen apa?" Arsen memecah lamunan Aira.
"Samain kayak lo aja." Aira menjawab lemah. Ia mendadak bad mood, tentu saja.
Mereka memesan. Ardan memesan makanannya dengan Willa, Arsen memesankan makanan untuk Aira, dan Aira hanya memperhatikan mereka.
Aira menoleh ke sebelahnya, tempat Arsen kembali duduk tenang dan bermain ponsel setelah memesan. Wajah Arsen terlihat begitu jelas dari samping, alis tebalnya, mata sayunya, semua tampak indah dan sempurna. Tapi mengapa Aira tak bahagia?
Arsen kini miliknya, milik Aira seutuhnya. Aira bebas memeluk laki laki itu seperti mimpinya dulu, bebas menggenggan tangan Arsen seperti khayalnya dulu. Tapi mengapa Aira tak bahagia?
Rasa sesak justru memenuhi rongga dadanya. Rasa sakitnya mencebik, lebih perih dari yang pernah Aira rasakan.
Lebih perih dari saat melihat Arsen pulang dengan Yuni, lebih perih dari saat Ari mengacuhkannya.
Aira benci melihat dua orang di depannya. Aira benci melihat Ardan dan Willa.
Siang itu tak seperti yang Aira harapkan sama sekali. Tak ada obrolan ringan yang menyenangkan, tak ada tawa yang mereka bagi. Aira hanya semakin sakit hati melihat Ardan dan sahabatnya yang tampak bahagia.
Double date mereka berakhir saat sore menjelang, Arsen membawa Aira pergi meninggalkan Ardan dan Willa yang berkata akan pergi ke pasar malam.
Aira hanya melamun sepanjang perjalanan, Arsen pun hanya diam, laki laki itu memang tak suka banyak bicara.
Mereka turun di pantai, pukul setengah enam, pantai terlihat tak terlalu ramai. Hanya sedikit pengunjung yang datang di hari kerja seperti ini.
Aira tersentak saat Arsen meraih lengannya, membawanya ke tepi pantai.
Arsen duduk di atas pasir lembut dengan lutut tertekuk, Aira mengikuti.
Tak ada yang bicara, sampai helaan napas Arsen terdengar.
"See," ucap Arsen dingin, "Setelah semua yang lo liat, lo sadar kan sekarang? Hati lo emang buat Ardan, Ra. Lo gak bisa ngelak lagi. Lo cinta sama Ardan."
Aira menundukkan kepalanya, tak mampu menjawab Arsen. Jangankan membalas, menatap wajah laki laki itu saja ia tak sanggup.
"Lo gak pernah sayang sama gue." Arsen melanjutkan kalimatnya, tak peduli pada Aira yang hampir menangis. "Tapi gue sayang sama lo."
Ucapan Arsen sukses membuat Aira menoleh dan mendongak, menatapnya yang sepuluh senti lebih tinggi. Mata Aira berair, keningnya berkerut, tak paham akan kalimat Arsen.
"Iya, gue sayang sama lo." Arsen mengucapkannya tanpa ekspresi, datar, namun terdengar yakin dan tulus.
Aira menelan ludahnya, berkedip, dan setitik air mata jatuh ke pipinya, mengalir seperti sungai kecil.
"Gimana?" Tanya Arsen masih dingin. "Setelah tau perasaan gue ke lo, apa yang lo rasain?"
Aira diam. Ia sedang mencari jawaban atas pertanyaan itu, apa yang Aira rasakan? Kenapa justru ia tak senang? Kenapa tidak ada perasaan itu? Kupu kupu terbang yang selalu Aira rasakan setiap jarinya bersentuhan dengan Arsen, kenapa tidak ada?
"Hampa kan?" Arsen kembali bersuara.
"Karena lo gak pernah sayang sama gue, Ra." Arsen mengulang pernyataannya. "Yang lo rasain selama ini bahkan bukan suka, apa lagi cinta, lo cuma penasaran sama gue. Lo tertarik dan pingin tau tentang gue. Lo berharap dapet respon, tapi engga. Gue pikir dengan terus mengacuhkan lo dan bersikap dingin bakal bikin lo jera dan fokus sama Ardan, tapi ternyata gue salah."
Aira semakin menunduk. Kalimat itu mirip dengan kalimat yang ia teriakan pada Zia dulu.
"Lo semakin penasaran sama gue, semakin ingin tau tentang gue. Dan sekarang, saat lo udah dapetin apa yang lo mau, udah tau apa yang pingin lo tau, lo puas? Ya, pasti ada rasa puas dalam diri lo, Ra. Tapi rasa hampa itu jauh lebih banyak, karena lo terlanjur percaya kalo selama ini lo cinta sama gue. Lo terlanjur menanam prinsip itu dalam hati lo, bahwa lo harus percaya kalau gue adalah orang yang tepat buat lo."
Arsen menggeleng, "Cinta gak kayak gitu, Ra. Lo membohongi diri lo selama bertahun tahun. Dan sekarang, saat lo udah kehilangan Ardan, lo baru sadar seberapa cinta lo sama dia. Seberapa tulus dan sayangnya Ardan sama lo, baru sekarang lo sadar. Emang selalu gitu. Selalu. Hidup lo bakal penuh penyesalan akhirnya."
Aira hanya diam, air matanya mengalir bebas di pipinya, berjatuhan di atas pasir pantai.
Arsen berdecih, kembali menatap ombak. "Drama tau gak?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurt [END]
JugendliteraturArdan Oliver jatuh cinta pada Aira, si bungsu kesayangan mama dan papa. Namun alih-alih setia kepada Ardan sepenuh hati, Aira masih saja terpana oleh teman sekelasnya, Ari. Kurangnya rasa bersyukur membuat Aira kehilangan keseimbangan akan dunianya...