27. My Support System

36 29 2
                                    

Setiap orang punya titik lelah masing masing. Sama seperti Zia yang lelah menghadapi Aira, Aira juga lelah dengan sikapnya sendiri.

Sore ini, ia merasakan pusing yang teramat. Kepalanya berat, pandangannya berkunang kunang setiap kali kakinya melangkah. Sepertinya, percakapannya dengan Zia di sekolah tadi menguras cukup banyak energi bagi Aira.

Sialan! Lemah banget sih gue. Masa gitu doang kena mental? Cemen lu, Ra! Aira kesal sendiri.

Tapi sekeras apapun Aira membantah, tubuhnya tetap tak bisa diajak kompromi. Aira berakhir dengan terbaring lemas di atas ranjang, sekarang ia bisa merasakan tubuhnya mulai panas.

"Airaaa!" Mama memanggil dari bawah. "Sayaang, makan dulu sini. Papa kamu dateng bawain martabak loh."

Mendengar kata martabak, satu satunya hal yang ingin Aira lakukan adalah melompat dari kasur. Berlari menuruni tangga, mencomot martabak yang dibawakan Hendra, lalu menghabiskannya di kamar. Setidaknya itu lah yang sedang Aira bayangkan saat ini.

Tubuh lemasnya tidak bisa digerakkan. Sungguh, Aira rasa ia akan sakit sekarang. Atau mungkin, sudah.

"Ra," kepala Lusi menyembul dari celah pintu yang baru dibuka. "Kamu kenapa? Gak sehat?"

Lusi mendekati putrinya yang hanya terbaring di atas ranjang, membungkus diri dengan selimut. Mata Aira terbuka, mengerjap beberapa belas kali dalam semenit. Menyadari wajah anak bungsunya agak pucat, Lusi meletakkan punggung tangannya di dahi Aira.

"Aduh, Ra. Badan kamu panas, kamu kok tiba tiba demam sih?" Lusi berdiri, berkacak pinggang. "Gini nih, udah berapa kali mama bilangin? Gak pernah nurut sih. Martabak terrooosss!"

Aira mengerjap. "Ma, Aira lagi sakit loh ini. Jangan dimarahin dulu napa."

Lusi mendengus, "Ya udah, kita ke puskesmas depan rumah ya."

"Mager,"

Lusi melotot. "Bangun atau Mama seret?"

Aira menyunggingkan senyum tipis, berusaha bangkit dari posisi tidur menyampingnya. "Mama galak ih."

"Tapi Aira kayaknya gak perlu periksa deh, Ma. Palingan besok sembuh." Ujar Aira saat merasa tubuhnya cukup lemah untuk bisa saja terjatuh di anak tangga pertama.

"Jangan bandel, pokoknya ikut Mama." Lusi berkata tegas.

Aira hanya bisa menurut. Meraih ikat rambut hitam dari atas meja rias dan mencepol asal rambut hitamnya. Saat kondisinya sedang tidak fit, Aira tidak terlalu mementingkan penampilan. Toh ia hanya keluar sampai depan rumah saja.

***

"Gapapa kok, Aira cuma kecapekan." Wanita baya berpakaian serba putih itu memberikan selembar kertas pada Aira. "Ini resep obatnya, pembayaran bisa langsung di resepsionis di depan ya."

Aira hanya mengangguk angguk pelan.

"Makasi ya, Bu." Lusi tersenyum sopan. Meraih tangan putrinya, "Ayo, sayang."

Aira kembali mengangguk, menurut saja sampai mereka kembali ke rumah. Hingga Lusi membaringkannya di ranjang, menyuapinya bubur, dan memberinya obat.

"Istirahat ya, Ra. Kalo udah sembuh nanti papa beliin martabak lagi." Kata Hendra yang berdiri di ujung ranjang Aira dengan sepotong martabak di tangan kanan dan secangkir kopi hitam di tangan kiri.

"He em, nwanti hue heliin hyang hwanyak." Tambah Dimas yang mulutnya penuh martabak.

"Udah, udah, jangan godain Aira. Dia gak boleh makan gorengan dulu." Lusi mengingatkan. "Istirahat yang cukup ya, sayang. Kalo perlu apa apa, panggil Mama aja."

Aira mengangguk, membenahi posisi selimutnya sendiri. "Makasi, Ma."

"Kami tinggal dulu ya, Ra." Ucap Hendra setelah mengecup kening Aira sekilas.

"Surat ijin sakitnya besok gue yang bawa ke sekolah, lo tenang aja." Dimas mengacak rambut adiknya.

Aira hanya mengangguk pelan.

Sepeninggal Lusi, Hendra, dan Dimas. Aira memejamkan matanya yang terasa berat, sepertinya ia akan terlelap dalam hitungan satu, dua, ti--

Ddrrrrrtttttt ddrrrrrttttt

Getar ponsel itu terdengar menyebalkan di telinga Aira. Dengan malas tangannya meraih ponsel di atas nakas, menggeser ikon telepon berwarna hijau yang ada di layar.

"Halo," ucap Aira dengan suara pelan dan serak.

"Halo, Ai-- eh, suara lo kok beda? Sakit ya?"

Aira tidak tahu kenapa senyumnya terlukis begitu mendengar suara dari ujung sana. "Gapapa, cuma kecapekan."

"Yah, besok gak sekolah dong? Ih, kangen deh gue."

"Gue usahain lusa sekolah."

"Eeh, jangan gitu. Pokoknya lo baru boleh sekolah kalo udah beneran sembuh, udah sehat. Makanya sekarang lo istirahat, rest well, ya."

Aira menarik senyumnya, "Thanks, Ar."

"Iya, sama sama. Ya udah, gue tutup ya. Lo istirahat yang bener, jangan ngebucin mulu."

"Hmm."

"Haha, canda, Ra. Jangan ngambek dong. Dah ya, gue tutup. Eh tapi bentar dulu, sebelum lo tidur, cek WA deh, gue ada kirim sesuatu." Suara Ari terdengar penuh semangat.

"Sok iye lu pake rahasia rahasiaan." Aira mendengus.

"Hehe, biar keren, Ra. Udah nih, gue tutup beneran. Em... I love you, Ra."

Tuuut tuutt tuuut

Sambungan telepon kembali diputus oleh Ari. Aira tahu, di seberang sana Ari juga pasti merasakan hal yang sama dengannya saat ini.

Menghiraukan debaran di dada yang semakin menggila, Aira memilih membuka aplikasi WhatsApp sesuai permintaan Ari. Mencari cari room chatnya dengan Ari dan mengecek pesan hari ini, Aira mengernyit saat tidak menemukan pesan baru.

"Sesuatu?" Kata Aira sambil beberapa kali membuka tutup data seluler, mengira ada gangguan jaringan.

5 menit dan tidak ada perubahan. Karena jenuh, Aira memilih melihat lihat pembaruan status yang diunggah teman temannya sebelum Aira benar benar tidur. Saat itulah ia menemukan video yang sepertinya dimaksud sebagai 'sesuatu' oleh Ari.

Hanya video 15 detik sederhana, mulanya layar menampilkan background putih yang dalam dua detik memunculkan tulisan 'My Support System🖤' tujuh detik berikutnya, layar menggelap, lalu menampilkan foto seseorang yang dimaksud support system oleh si pengunggah.

Aira tercenung.

Ada fotonya di sana.

Sesegera mungkin Aira menekan tombol home pada ponselnya dan menenggelamkan diri di balik selimut. Ia baru tahu ternyata bukan hanya demam yang membuat tubuhnya panas, tapi juga unggahan status Ari.

***

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang