"Gue suka sama lo, Ra." Ari menatap Aira lurus lurus.
Aira bengong.
"Jangan keselek, plis, gue ga bawa aqua apa lagi non min." Kata Ari cepat.
Jika situasinya berbeda, Aira pasti sudah tertawa melihat ekspresi menggelikan laki laki itu. Tapi tidak saat ini, Aira hanya menggeleng. "Situasinya gak tepat buat bercanda."
Ari menggaruk belakang lehernya. "Ya... kalo lo gak percaya gak apa apa sih. Gue cuma mencoba terus terang aja sama diri gue, dan sama lo."
"Bentar." Aira mengelap tangannya dengan taplak meja. "Untuk menghindari kesalah-pahaman, gue mau tanya dulu. Ini serius? Bukan canda canda? Bukan prank?"
"Asli, no prank prank." Ari mengangguk yakin.
"O..ke..." Aira mencoba percaya.
"Denger, Ra. Gue tau ini terlalu tiba tiba, kecepetan mungkin. Tapi gue gini cuma karena takut. Gue gak mau ngulang kesalahan gue waktu SMP. Gue gak mau cuma gara gara gue takut ngungkapin perasaan, gue jadi harus kehilangan cewek yang gue suka." Jeda, Ari mengusap rambutnya ke belakang. "Gue gak maksa lo buat jadi pacar gue. Jangankan maksa, minta pun gue engga. Gue cuma pingin ngungkapin perasaan gue aja, terserah setelah ini lo bakal gimana. Karena setidaknya gue udah nyoba jujur."
Ari menatap Aira dalam dalam. "Ra, lo cinta pertama gue di SMA. Lo orang pertama yang bisa bikin gue kepikiran tiap malem. Gue sayang sama lo, Ra. Gue gak bisa berenti mikirin lo, cuma lo yang bisa bikin gue kayak gini. Gue pernah nyoba deketin cewek setelah gue kehilangan waktu SMP dulu, tapi gak bisa, Ra. Cuma lo yang akhirnya bikin gue ngerasa sayang banget sama orang lain yang bukan keluarga gue."
"Ini kalo lo bercanda, gak lucu sumpah." Aira akhirnya bersuara, tatapannya ragu.
Bayangkan saja berada di posisi Aira, sedang enak enaknya makan martabak malah disuguhi sebuah pernyataan tak terduga. Aira agak ngeri sebenarnya melihat cowok jangkung di depannya bicara dengan amat jujur, berterus terang tanpa kepalsuan. Bisa dilihat dari matanya, Ari tampak sedikit gugup.
Tapi Aira lebih! Jantungnya serasa ingin melompat ke lambung dan Aira bisa saja memuntahkannya sekarang juga jika itu mungkin. Sungguh. Aira syok berat.
"Gue serius, karena cuma lo yang bisa bikin fokus gue teralih."
Hening sejenak.
"Gue... gak tau harus jawab apa." Aira mencoba menatap balik Ari.
Ari menggeleng dengan senyum di bibirnya, "Lo gak perlu jawab apa apa, cukup denger gue cerita. Mau kan?"
Aira mengangguk, mengambil potongan martabak lainnya.
Ari tersenyum, "Gue gak tau sejak kapan tepatnya perasaan gue muncul. Mungkin waktu bulan Agustus, pas apel 17an. Ah, tapi itu gak penting. Intinya gue sayang sama lo, Ra. Gue... hm," Ari mengedikkan bahunya. "Mungkin cinta? Mungkin yaa. Tapi sayang banget, lo udah punya pacar."
"Terus?" Tanya Aira dengan polosnya.
"Ya... ya udah lah ya. Kita temenan aja." Ari menatap Aira yang sejak tadi asik memakan martabaknya, hingga kini tinggal tersisa tiga potongan.
Aira mengangguk. "Boleh aja. Lagian bagus kali temenan, ga bisa putus, ga gampang berantem pula."
"Hmm, tapi gue pingin lebih dari itu." Ari menunduk, jujur.
"Gue juga pingin, tapi..." ucapan Aira menggantung. Haruskah Aira mengatakannya sekarang?
"Tapi kenapa?" Ari mendesak tidak sabaran.
"Em.. gue boleh terus terang juga kan?" Demi apa, gue takuuuut.
Ari mengangguk cepat, "Boleh."
"Ya gituuu. Gue pingin kita lebih dari temen, karena..." Aira mengalihkan pandangannya, Sialan! Ayo, Ra! Lo bisa! Kapan lagi ada kesempatan kayak gini! "Gue juga suka sama lo. Tapi... gue gak mungkin mutusin Ardan sekarang."
"Iya, itu masalahnya." Ari seolah mengerti.
Aira mengangkat kepalanya, "Terus sekarang gimana?"
"TTM mau?"
Aira menatap Ari tak paham. "TTM?"
Ari mengangguk. "Teman tapi mesra."
"Masih jaman gitu TTMan?" Aira menyuarakan pikirannya.
Ari terkekeh. "Ya gimana, Ra. Gue gak mau bikin lo ngeduain pacar lo."
Aira tercenung, "Lo gak mau pacar gue diduakan apa lo gak mau jadi yang kedua?"
"Sama aja gak sih?" Ari terkekeh.
Aira balas terkekeh. "Tapi, Ar, gue sebenernya agak gak paham sama konsep TTM. TTM itu teman tapi mesra kan? Jadi cuma teman kan? Terus kalo gue cemburu boleh ga?"
"Jangan cemburu cemburu gitu dong, Aira sayaaang." Ari mencubit pipi Aira gemas.
Adjgfhklml baper gue, tolong! Aira mendengus, "Sakit, babi!"
"Jangan ngegas dong, monyet!"
Keduanya tertawa setelah percakapan ngawur mereka.
"Udah yok, pulang." Ari mengambil kresek berisi kertas minyak kosong bekas martabak yang sudah dihabiskan Aira.
"Ar, tunggu." Tanpa sadar Aira memegang pergelangan tangan Ari yang hendak keluar kelas. "Plis jangan berubah setelah semua ini."
"Berubah?" Beo Ari. "Maksud lo kek gimana?"
"Jangan... jangan cuek, jangan jauhin gue, jangan jadi tambah nyebelin. Pokoknya tetep kayak sekarang, jangan berubah jadi cuek atau apapun."
Ari terkekeh, "Dari sononya gue emang cuek dan nyebelin, tapi kalo gue beda ke lo, artinya lo itu istimewa."
Oh Tuhan, inikah rasanya cinta? Oh, benarkah cinta? Lah kok nyanyiiii.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurt [END]
Teen FictionArdan Oliver jatuh cinta pada Aira, si bungsu kesayangan mama dan papa. Namun alih-alih setia kepada Ardan sepenuh hati, Aira masih saja terpana oleh teman sekelasnya, Ari. Kurangnya rasa bersyukur membuat Aira kehilangan keseimbangan akan dunianya...