40. Cincin Kawin

22 19 0
                                    

Aira baru saja merebahkan diri di ranjang empuknya sesaat setelah mandi sore tadi. Aira sudah mendapat izin dari Dimas dan Hendra untuk kembali ke sekolah besok. Segala buku dan perlengkapan lain sudah Aira siapkan di dalam tas.

Kini, yang perlu ia lakukan hanya bersantai sambil main hape. Tv besar yang menggantung di depannya sedang menayangkan adegan BoBoiBoy yang melawan Adudu saat ponselnya tiba tiba berdering.

"Aduh, siapa sih ini ganggu aja." Gumamnya.

"Halo?"

"Halo, Ra. Ready to back to school?"

Ah, rupanya itu Ari.

Senyum Aira terbit seketika. "Siap dong. Udah ga sabar dikasi martabak lagi sama Ari, hehe."

"Yeu, baru juga sembuh udah minta martabak aja." Ari mendengus. "Eh, temen sekelas pada mesen ayam geprek, lo mau ga?"

"Ayam geprek?" Beo Aira. "Mesen di mana? Berapaan?"

"Di kakak sepupu gue yang baru buka usaha geprek. Kalo buat lo mah gratis aja, hehe."

"Anjay," Aira terkekeh. "Serius ini, gue mau dong. Berapaan, Ar?"

"Gratis, Aira sayaaang."

"Seriusan lo, Ar?" Aira berusaha tak mengindahkan kata sayang yang terselip di belakang kalimat tadi.

"Serius lah. Apa sih yang engga buat Aira. Hahaha."

"Aduh, baru sembuh udah digombalin nih gue. Ya udah, gue mau ya, sekalian sama aqua."

"Siap boskuu."

Dan malam itu, ditemani BoBoiBoy yang entah sedang apa di tv--Aira tak begitu memperhatikan--mereka mengobrol hingga larut dan keduanya memutuskan tidur.

Aira sama sekali lupa kalau di luar sana, ada Ardan yang sedang berkutat dengan perasaannya.

***

Jumat pagi, Aira senang hari ini. Teramat senang. Sebab setelah bosan hanya diam di rumah, ia bisa kembali menjejakan kaki di halaman sekolah yang amat ia cintai.

Aira menghirup sebanyak banyaknya oksigen yang memenuhi atmosfer SMA Permata dengan khidmat, setelahnya ia menatap gedung gedung yang berjejer memenuhi lingkungan sekolah.

Dear SMA Permata, aku mencintai salah satu siswamu. Pekiknya dalam hati.

"Masuk woy, udah siang." Celetuk seseorang yang berdiri di belakangnya.

Aira menoleh, ternyata itu Nata yang jalan masuknya terhambat akibat Aira berdiri di tengah gerbang.

"Hehe, sori." Aira nyengir kuda, lantas bergeser.

Aira berjalan bersebelahan dengan Nata yang tiba tiba saja menceletuk. "Ari galau pas lo ga masuk."

"Hm?" Aira pura pura tidak dengar.

"Ari galau gara gara lo gak sekolah." Ulang Nata dengan kalimat yang diperjelas.

"Ooh." Aira pura pura biasa saja, padahal dalam hati ia heboh sendiri. Cie digalauin doi. Cie doi pasti kangen. Cie cie cieeee.

Begitu sampai di kelas, rupanya para penghuni sudah datang hampir semuanya. Dapat dengan jelas Aira lihat di mejanya kini duduk Dewi bersama Zia dan Setia duduk sendirian. Itu berarti Zia mencoba mengusirnya secara halus.

Okeh. Kalo itu mau lo, Zi. Aira bersungut dalam hati, menghampiri Setia yang tengah memoles bibirnya dengan liptint. "Selamat pagi bu bos."

"Pagi pacarnya Angga Ari." Balas Setia.

"Dih." Aira pura pura mengernyit. Untuk kemudian dibuat mengernyit sungguhan atas kedatangan Ari yang tiba tiba berdiri di sebelahnya. "Kenapa, Ar?"

"Nih," hanya itu yang dikatakannya dengan tangan yang mengulurkan sebuah kotak yang dari dalamnya menguar bau bau bikin lapar.

"Oh, makasih." Aira menerimanya dengan senang hati.

Setia menoleh sedikit, "Apaan tuh?"

Aira membukanya sebagai jawaban. Dan tampaklah sepotong ayam krispi yang diatasnya dibaluri sambal merah dengan pelengkap segumpal nasi dan dua potong mentimun. Setia ngiler dibuatnya.

"Anjaaay!" Yuda tiba tiba berseru heboh.

Di belakangnya, mengekor Radit yang berseru tak kalah heboh. "Kemaren kemaren dibeliin nasi, terus dianter pulang, hari ini dibeliin ayam geprek. Besok apa lagi, Ar?"

"Besok fix sih," Nata ikut ikutan, "Cincin kawin!"

Dan seluruh kelas bersorak mengamini ucapan Nata. Termasuk Aira yang mengucapnya dalam hati.

***

Bel pulang berbunyi, Zia menjadi yang paling awal meninggalkan kelas. Terburu buru seolah menghindari sesuatu, mungkin Aira. Tapi Aira tidak terlalu memperhatikan, bahkan terkesan tidak peduli.

"Ra," Ari menghampiri.

"Iya?" Aira mendongak, menatap Ari yang lima belas senti lebih tinggi darinya.

"Pulang bareng?"

"Kuy!"

Aira benar benar lupa apa yang baru saja terjadi semalam. Sampai seseorang yang berdiri di depan gerbang itu mengingatkannya. Mereka sedang berjalan beriringan saat mata Aira menangkap sosok seorang pemuda bertubuh tegap yang tengah berbincang dengan satpam sekolah.

"Anjir," umpat Aira refleks.

"Kenapa, Ra?" Tanya Ari yang ikut berhenti melangkah karena Aira terdiam.

"Ar, lo parkir di mana?"

"Di depan."

"Lo... lo pulang duluan aja deh. Ga jadi anterin gue."

"Loh? Kok gitu?" Ari bingung.

"Di depan ada pacar gue." Bisik Aira sedikit berjinjit.

Ari menyipitkan matanya, lantas mengangguk saja. "Ya udah deh. Lo hati hati pulangnya."

"Lo juga." Selepas kalimat itu, Aira cepat cepat menghampiri Ardan yang kini menatapnya.

"Hai, Dan." Sapa Aira berusaha tidak kaku.

Ardan masih dengan tatapan datarnya, ekspresinya tak berubah sedikitpun sejak kemarin. "Mau pulang sama dia lagi?"

Aira menggeleng, pura pura bingung. "Maksudnya?"

Ardan memutar bola mata, lantas menaiki motor ninja hitamnya. "Naik."

Aira bingung, tetapi menurut saat Ardan menyuruhnya. Tepat saat tangan mungil Aira memegang pundaknya, Ardan langsung memacu motornya dengan kecepatan tinggi.

Aira refleks memeluk Ardan erat, membiarkan wajahnya tenggelam di punggung Ardan. Siang itu, Aira menyadari kesalahan yang diperbuatnya ternyata benar benar fatal.

***

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang