57. Kepada Dia yang Gagal Kumiliki

21 9 7
                                    

Besok tanggal 31 Desember, dan Aira masih belum bisa mengatasi perasaannya.

Aira tak banyak tertawa saat Ardan mengajaknya bertamu ke rumah Willa beberapa hari yang lalu. Juga menolak saat Setia dan Radit mengundangnya ke acara bakar bakar menyambut pergantian tahun.

Sebab Aira tahu, apapun yang terjadi, Ari tidak akan kembali.

Acara yang disebut Radit mungkin akan dihadiri oleh Ari, tapi jika Ari tahu Aira akan datang, laki laki itu pasti membatalkan kehadirannya. Ari menghindari Aira. Semuanya jelas terlihat sejak kejadian di toko buku kemarin.

Kemarin, Willa mengajak Aira pergi ke toko buku tempat Ari bekerja. Willa tidak tahu Ari bekerja di sana, jadi dia anteng saja masuk dan memilih buku.

Aira sendiri menyempatkan mencuri pandang ke setiap sudut toko hanya untuk menemukan sosok Ari. Tapi setelah lima belas menit mencari, laki laki bertubuh jangkung itu belum juga tampak batang hidungnya.

Hingga sebuah mobil box merapat ke depan toko buku, mobil itu membawa ratusan buku buku baru. Dan di sanalah Ari, bertugas menurunkan dan menyusun buku buku itu di rak.

Aira melihat sekilas tumpukan buku yang dibawa Ari, sepertinya genre remaja. Dengan lihai Aira berlari ke rak berisi buku buku bergenre remaja. Dan sepertinya Ari melihat perbuatan Aira.

Laki laki itu memilih menyerahkan buku yang dibawanya kepada seorang pegawai toko yang lain, memilih mengambil tugas yang lain. Aira hanya mampu berdecak.

"Lo kenapa?" Tanya Willa waktu itu.

Aira hanya membalas dengan gelengan.

Rasanya perih saat Aira menyadari kalau Ari ternyata benar benar menghindarinya. Bahkan perihnya masih Aira rasakan hingga hari ini.

Jadi... gitu ya rasanya dihindarin? Aira mengaduk aduk tehnya sendiri.

Sudah hampir sepuluh menit ia berdiri di dapur, di dekat kompor, mengaduk aduk gelas berisi teh panas yang perlahan mendingin.

"Lo ngapain lagi sih?" Dimas berujar frustasi, "Kemarin ngelamun di ruang tv, tadi malem di kamar mandi, sekarang di sini. Setan di rumah kita udah pada males kali, Ra, ngeliat lo ngelamun mulu."

Aira hanya mendengus, "Sewot ae lu, biji kedele."

"Yeu, biarin, ulet nangka!" Dimas menjulurkan lidahnya pada Aira yang berlalu membawa tehnya.

Aira melangkah menuju kamarnya, duduk di sofa abu abu sambil memperhatikan gerimis yang mulai turun membasahi bumi. Bulan Desember dipenuhi hujan dan gerimis, seperti hati Aira yang membiru. Bersedih.

Aira bangkit, beralih duduk di meja belajarnya. Meraih selembar kertas dan pulpen dari sembarang sudut, membiarkan tehnya perlahan mendingin di sebelah kirinya.

Baris demi baris kata yang menenun kalimat mulai terangkai. Aira tenggelam dalam dunianya.

---

Kepada dia yang gagal kumiliki.

Hai, Ar. Em, aneh rasanya nulis kaya gini, gue udah lama ga nulis surat soalnya. Tapi gapapa lah ya, toh lo ga bakal baca juga, ehe.

Di sini lagi hujan, Ar, gerimis. Di sana gimana? Dingin ga? Sini gue peluk, eh.

Ari, gue kangen.

Lo lagi apa di sana? Dengerin lagu ya? Atau main game? Atau... udah punya gebetan lagi? Ngebayanginnya bikin gue agak nyesek, Ar. Hehe. Egois ya gue, berharap lo tetep sama gue sedangkan gue masih sama pacar gue.

Sakit ya, Ar? Atau lo malah nganggap ini sekedar angin lalu doang? Semoga lo lebih tabah dari gue ya, hidup lo harus tetep jalan. Jangan kaya gue yang berlarut larut mikirin lo gini, ehe.

Gue sayang lo, gue tau. Tapi mungkin lo ga percaya. Nganggap perasaan gue cuma sekedar suka sekilas doang. Sama, Ar. Gue maunya juga gitu. Tapi ga bisa. Karena apa yang gue rasain sekarang ini nyata.

Kalo emang sekedar suka tanpa dasar, pasti bisa gue alihin ke hal lain dong. Tapi ini engga, Ar. Gue terjebak dalam permainan gue sendiri.

Ari, andai waktu itu cerita kita ga pernah kebongkar, menurut lo, kita lagi apa sekarang? Chat? Teleponan? Di sekolah kita bakal kaya gimana ya? Mungkin... lo bakal jadi alasan gue tidur larut, alasan gue begadang, dan alasan gue dengerin Night Changes tiap malem.

Haha, kalo yang itu emang sih. Gue sering dan masih dengerin Night Changes sampe hari ini. Karena itu bikin gue keinget sama lo, sama kita. Gue mulai lebih suka hujan, karena hujan pernah bikin lo tertahan sama gue.

Iya, yang di sekolah pas hari senin. Inget ga? Waktu gue duduk di belakang lo dan ngobrolin hal hal random sampe baper.

Ari, tangan dingin lo itu, boleh gue pegang? Wangi parfum lo, boleh gue cium lagi? Badan jangkung lo, boleh gue peluk? Boleh gue ngerasain jadi milik lo walau cuma sehari? Sejam? Semenit? Gue mau sama lo, Ar.

Maaf buat kebodohan dan kesalahan gue. Gue gak tau mana yang bener, bertahan sama lo dan tetep bohongin pacar gue, atau jujur ke pacar gue dan ninggalin lo. Gue gak tau, Ar. Yang gue tau, gue selalu bisa denger suara lo tiap lagu Night Changes keputer. Gue selalu bisa cium bau parfum lo tiap hujan turun.

Ari, makasi udah pernah sedeket itu sama gue. Makasi udah pernah bikin gue senyam senyum gaje bahkan saat lo gak ada di samping gue. Makasi udah bikin gue nyaman dan ngerasa masa SMA gue menyenangkan.

Gue senaksir itu sama lo sampe gue ga bisa lupa, Ar.

Gue harap, lo bahagia ya. Tanpa gue, tanpa bullshitnya omongan gue, dan tanpa harapan palsu yang gue kasi. Jangan ngambek dan dendam ke gue ya.

Ari, gue masih dan akan selalu merindukan lo.

Dari aku yang gagal jadi miliknya.

---

Aira meletakkan pulpen abu abunya di atas meja. Menatap lurus jendela besar di kamarnya yang tersapu gerimis. Ia merasa hatinya lega setelah menuliskan berderet kalimat itu. Padahal sebelumnya Aira tidak suka menulis.

Tapi sekarang, sepertinya ia harus mendedikasikan waktunya untuk menuliskan sesuatu kepada setidaknya selembar kertas saat hatinya kacau. Karena siapa sangka, hanya bermodal kertas dan pena Aira bisa lupa sejenak akan resahnya.

***

Special thanks to Ari in real life yang udah menginspirasi penulisan chapter ini.

Buat Ari A, walopun lo ga baca tulisan gue, gue tetep mau bilang, gue (pernah) sayang sama lo. Hehe.

Note : Gambar di mulmed itu ilustrasi suratnya Aira.

-devina

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang