53. Ari dan Rahasianya

20 8 10
                                    

Rabu malam, pukul 22.30

Hujan deras turun mengguyur bumi, udara dingin bulan November menyelimuti atmosfer kota. Di jalanan yang lengang, seorang remaja laki laki berperawakan jangkung memacu motor abu abunya dengan kecepatan tinggi.

Rambut hitamnya yang tertutup tudung hoodie biru gelap tetap basah oleh air, sebelah tangannya bertengger di dekat dahi, berusaha menghalau rintik hujan yang menghujam tanpa ampun. Pukul sembilan tadi toko buku tempatnya bekerja paruh waktu baru saja tutup, tapi ia tidak bisa pulang karena hujan.

Menunggu di depan toko, berharap hujan sedikit reda dan ia bisa kembali ke rumah dengan kondisi kering. Sayang, semesta tak mengizinkannya pulang sesuai rencana. Motor terus melaju, sampai seseorang yang turun dari sebuah mobil hitam menghadangnya.

Decit rem motor Ari terdengar samar di tengah hujan. Ari hanya diam menatap laki laki yang ia rasa seumuran dengannya, berdiri di tengah jalan, di bawah payung gelap. Payungnya lebar, menutupi hampir seluruh bagian kepala kecuali bibir tipisnya yang menyungging senyum samar.

Tiinn

"Minggir, mas!" Ari berseru, suaranya berpadu derasnya hujan.

Laki laki tinggi tegap itu mendekat, mengangkat sedikit payungnya, memperlihatkan wajah berkulit pucat dan rambut cokelatnya yang berkilau diterpa cahaya lampu motor yang menerobos rintik hujan.

"Ari." Ujarnya dingin.

Ari yang sempat kesal berubah penasaran kala laki laki setengah bule itu menyebut namanya. Alisnya bertaut bingung, "Lo siapa?"

Remaja di hadapannya tersenyum miring. "Cowok miskin kayak lo gak pantes deket deket sama Aira."

Siapa orang ini? Ari tidak pernah melihatnya sebelumnya. Kenapa dia mengenal Aira? Bagaimana dia bisa tahu nama Ari? Orang suruhan pacarnya Aira kah? Ari tidak tahu.

"Woi, anak lonte! Denger gak lo?!" Laki laki itu berseru, menatap remeh pada Ari.

"Lo ngatain nyokap gue jual diri?" Ari menelengkan kepalanya.

Laki laki itu tersenyum semakin sinis, tatapannya semakin menyebalkan. "Emang kan? Makanya bokap lo minggat sama tante lo sendiri, ninggalin nyokap murahan lo itu."

Ari mendelik. Sedangkan Ardan terkekeh.

Ya, Ardan. Ardan Oliver. Hanya saja, Ari belum tahu kalau remaja berwajah sombong itu adalah Ardan.

"Gue denger, abis diceraiin sama bokap lo, nyokap lo yang sakit sakitan itu jualan bakso kan sekarang. Baksonya gak diisi borax kan? Atau formalin? Atau diludahin sebelum dijual? Hah, keluarga lo drama banget, anjing."

"Lo siapa sih, bangsat?!" Ari mulai emosi. Ia menurunkan standart motor lalu berdiri di hadapan Ardan. Tak peduli dengan hujan yang semakin deras disertai tiupan angin.

Ardan menatap Ari tepat di mata, untuk sedetik kemudian berbalik dan berjalan menuju mobilnya. "Anak lonte murahan kayak lo gak perlu kenal sama gue. Gue cuma peringatin lo buat jauh jauh dari Aira."

"Woy, bajingan!" Ari berseru marah. "Lo boleh hina gue, tapi gak usah bawa bawa nyokap gue ya, bangsat!!"

Ardan menoleh, terkekeh lagi, "Klasik banget kata kata lo. Terus bokap lo yang koruptor itu masih mau lo belain juga? Eh, eh, santai bro, gak usah melotot gitu matanya. Biasa aja dong. Lagian gue ngomongin fakta kok. Bokap lo emang koruptor, sampah negara, beban masyarakat."

"Tutup mulut lo, sialan!" Ari berseru marah.

Sebenarnya ia sangat bingung, dari mana orang asing ini mengetahui rahasia yang selama ini ia simpan rapat rapat? Bahkan Nata sekali pun tidak tahu menahu tentang seluk beluk keluarga Ari. Lantas, dari mana orang menyebalkan ini tahu?

Mengesampingkan perasaan bingung itu, Ari berlari, menghantamkan sekepal bogem mentah ke arah Ardan yang dengan sigap menghindar.

"Eh, miskin. Sadar diri! Kalo nyari saingan itu mikir dikit. Liat dulu tampang lo, inget juga sama kelakuan keluarga ala ala drama teater lo itu."

"Lo jangan bacot doang dilebihin kayak cabe cabean! Sini lo, maju!!" Ari menurunkan tudung hoodienya.

"Halaah, anak koruptor gak usah sok keras. Jauh jauh lo dari pacar gue!!" Ardan terlalu meremehkan, sampai tidak sadar Ari sudah meluncurkan pukulan ke arah perutnya, membuatnya mundur dua langkah. "Bangsat!!!"

Ari tersenyum miring. "Lemah! Justru lo yang gak pantes buat Aira! Kasian banget dia harus pacaran sama cowok gak bermoral kayak lo!!"

Ardan melempar payungnya ke sisi jalan. Malam itu, disaksikan sambaran kilat dan gemuruh petir di langit, Ardan menunjukkan sifat aslinya. Pun Ari yang selama ini dikenal pendiam dan tidak suka berkelahi malah terlihat sisi liarnya.

Bugh

Bugh

Dugh

Tidak peduli hujan dan petir yang kian keras terdengar, keduanya saling jual beli tinju dengan kalap. Ari berhasil memukul mundur Ardan, tapi Ardan tidak tinggal diam dan membalas tinjuan Ari hingga laki laki itu tersungkur.

Wajah lebam Ari semakin terasa nyeri saat bergesekan dengan aspal yang dibasahi hujan, Ardan masih tak memberinya ampun. Ia menendang tubuh lemah lawannya hingga terlentang di tengah jalan.

Ari terbatuk, berusaha bangkit tapi Ardan kembali menendangnya. Kakinya berpijak pada dada Ari, membuat Ari yang sudah lemah kian sulit untuk bernapas. Di saat yang sama, samar samar terdengar suara sirine polisi di kejauhan.

"Shit!" Ardan memalingkan wajahnya, mencari cari sumber suara. "Selamat lo kali ini, asu!"

Ardan melompat kembali ke mobilnya, meninggalkan Ari.

Ari terbatuk, menyeret dirinya ke pinggir jalan hanya untik berteduh di bawah pohon yang tak banyak membantu. Menatap mobil hitam yang kian menjauh dari pandangannya, dan mobil polisi yang rupanya hanya melewati jalan di ujung persimpangan sana.

Rupanya, Tuhan masih memberinya kesempatan untuk bernapas dan berpijak di bumi.

***

Hari ini, di bilik toilet putri.

"Lo gak tau Ardan abis berantem sama selingkuhan lo itu?"

"Hah?!" Aira tidak sadar suara melengkingnya terdengar amat nyaring.

"Ga usah ngegas dong monyet!" Willa balas berseru, telinganya sedikit berdengung akibat teriakan Aira. "Ya gitu deh."

"Enggak, sumpah gue gak tau." Aira jadi panik sendiri mendengar penuturan Willa. "Kok lo bisa tau sih, Wil? Terus kenapa coba Ardan ga cerita sama gue."

"Ya maap, sebenernya dia ngelarang gue buat bilang ini ke lo sih, tapi mulut gue ga bisa diajak kompromi, keceplosan deh."

"Terus sekarang dia gimana? Sehat sehat kan?"

"Mana gue tau." Di seberang sana, Willa mengedikkan bahunya. "Terakhir kali dia nelepon gue sih katanya gapapa. Cuma lu bayangan aja sendiri, yang namanya cowok abis berantem emang ada yang baek baek aja? Punya otak tuh dipake dikit gitu, Ra."

Aira menghela napasnya. Ia terlampau khawatir pada keadaan Ardan. Tapi sial, ini bukan situasi yang tepat untuk semua itu.

"Ya udah deh, Wil. Makasi banyak infonya. Gue balik ke kelas dulu."

"Hm."

***

Honestly ga tega ngelakuin ini ke Ari, hiks. Kasian bebepku bonyok bonyok :(
Tapi ini demi kepentingan alur 😭

Followersku ngurang satu, siapa yang unfoll? :((

-devina

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang