"Jadi, kenapa?" Tanya Ardan sambil melempar sekaleng minuman dingin pada Arsen yang duduk manis di sofa empuknya.
Arsen menangkap minuman itu dengan mudah, membukanya lalu menenggak sebagian isinya. "Dia liat gue lagi."
"Lagi?" Ardan tampak terkejut.
Arsen mengangguk, meletakkan kaleng minuman yang isinya tinggal setengah ke atas meja oval di depan sofa. "Sorry."
"Lo... akh!" Ardan tidak bisa berkata kata, ia mendudukkan bokongnya dengan kasar di sebelah Arsen. "Kok bisa sih? Gue kan udah bilang, jangan sampe Aira liat lo sama cewek itu lagi!"
"Gue gak tau Yuni ada di sana." Kata Arsen datar, tapi terdengar ada rasa bersalah dalam kata katanya.
Ardan tak tahu harus merespon apa, ia hanya terduduk sambil memegangi kepalanya, frustasi. "Gue tau Aira masih suka sama lo, dia pasti sakit banget. Lagian lo kenapa bego sih?!"
"Gak ada gunanya lo marahin gue," ucap Arsen tenang. "Mending lo samperin Aira, kasian dia."
Itu percakapan Ardan dan Arsen dua hari yang lalu, percakapan yang membuat Ardan akhirnya pergi ke rumah Aira sambil membawa martabak telor kesukaan Aira.
Jadi, itulah alasan mengapa Ardan selalu muncul disaat saat terburuk Aira. Informasi kecil yang disampaikan Arsen amat berguna, meski kadang Ardan kesulitan mengatur waktunya antara tugas sekolah dan Aira.
Tapi, apapun alasannya, Ardan ingin Aira selalu jadi yang pertama. Ardan ingin selalu ada untuk Aira. Begitupun malam ini, Ardan sangat ingin menghubungi Aira, tapi berbagai jenis lomba yang harus ia ikuti membuatnya mengurungkan niat.
Harus fokus. Batin Ardan serius, setelah semua ini selesai, gue bisa hubungin Aira. Tunggu aku, Ra.
***
Kamis malam, alias malam Jumat.
Aira sedang menonton tv di kamarnya, di atas kasur empuknya, di bawah selimut tebalnya. Ponselnya sengaja ia letakkan dalam mode silen, tak ingin terganggu dengan godaan chat dari Ari.
"TAPOPS pengembara satu galaksi, mencari power sphera tuk dilindungi~" Aira bernyanyi nyanyi mengikuti lagu yang dinyanyikan alien hijau berkepala kotak dengan wajah imut di layar televisi.
Tak ada yang lebih baik dari malam hari ditemani animasi BoBoiBoy bagi Aira, moodnya naik berkali kali lipat. Setidaknya sampai--
Brak!
"Ra!"
--Dimas tiba tiba membuka pintu dan berseru seperti orang kesetanan.
"Apaan, anjir." Ketus Aira, matanya masih fokus pada layar datar di ujung sana.
"Gawat, Ra! Gawat!" Seru Dimas heboh.
"Kenapa sih, Bang?" Aira akhirnya menoleh.
"Stok ciki di kulkas abis, Ra!"
"ANJIR!" Aira melompat dari kasurnya, cepat cepat mengambil jaket tebal dan dompet di atas nakas. "AYOK, BANG! BURUAN BELI!"
Dimas mengangguk, ia sudah siap sejak tadi, tinggal menarik Aira saja. Kakak beradik itu meninggalkan rumah mewah dua lantai milik kedua orangtuanya dengan mobil mewah milik Dimas, segera menuju minimarket terdekat.
"Lo ke bagian ciki manis, gue ambil yang gurih. Oke?" Dimas segera memberi perintah begitu mobil terparkir.
Aira mengangguk, cepat cepat turun dan masuk ke dalam minimarket. Suasana tak terlalu ramai malam ini, memudahkan Aira dan Dimas berburu ciki sepuasnya. Rutinitas ini biasanya mereka lakukan setiap hari Minggu, tapi karena minggu lalu mereka berdua lupa, jadilah kelabakan malam malam begini hanya karena kehabisan camilan.
Aira selesai duluan, membawa keranjang belanjaannya ke meja kasir. Tak lama kemudian, Dimas menyusul.
"Lo tunggu bentar, gue ambil tas belanja di mobil." Pesan Dimas.
Aira hanya mengacungkan jempolnya sebagai jawaban, lantas kembali memasukkan tangannya ke saku hoodie hitam yang dipakainya. Udara bulan Oktober terasa dingin, diluar tampak sedang hujan.
"Ra, Ardan kapan ultah?" Tanya seseorang tiba tiba.
Ketika menoleh, Aira terlonjak melihat seorang laki laki yang dari caranya berdiri saja sudah sangat Aira kenali. Laki laki bertubuh jangkung, mengenakan pakaian serba hitam, termasuk sepatu, topi, dan masker yang menutupi hampir seluruh bagian wajahnya kecuali mata dan kening.
Arsen.
"Ngapain lo di sini?" Tanya Aira kurang logis.
"Si Ardan kapan ultah?" Arsen malah mengulang pertanyaannya.
"12 November." Aira menjawab jujur meski masih dibuat bingung oleh makhluk yang tiba tiba sudah ada di sampingnya itu.
"Did he say something? Tentang apa gitu yang dia pingin."
Aira tampak berpikir sejenak, "Hmm, Ardan said : apapun dari kamu aku suka."
Arsen menatap Aira datar, lebih datar dari biasanya. Jelas laki laki itu kesal, dan Aira malah terkikik.
"Gue rencananya sih mau ngasi yang hand made gitu, biar spesial. Kan buat orang spesial." Aira nyengir.
"Totalnya 265 ribu, Kak." Kata mbak mbak kasir.
"Oh, iya mbak." Aira menyerahkan tiga lembar uang pecahan seratus ribu pada si kasir dan menerima kembaliannya.
Tepat saat uang masuk ke saku Aira, Dimas kembali membawa beberapa tas kain. Setelah semua belanjaan mereka masuk ke dalam tas, Aira dan Dimas segera kembali menuju mobil.
"Duluan, Sen." Tak lupa Aira pamit pada Arsen yang hanya mengangguk.
***
"Gila! Barusan gue ketemu Arsen!" Ucap Aira heboh saat telepon terhubung. "Wah, untung stok ciki gue abis malem ini."
"Ketemu juga si Arsen kagak suka elu," kata Willa dari ujung sana dengan amat ringan. "Ehe."
"Hm," Aira memasang senyum tersakiti seolah Willa dapat melihatnya. "Gue tau fakta itu, ga perlu ditegaskan."
"Hehe."
"Haah," Aira berdecak. "Si Arsen adem, njir. Lebih adem dari liatin bed boi."
"Hari ini lagi ujan, hawanya jadi adem."
"Bodo, Wil. Bodo." Aira melempar pulpen yang sedang dipegangnya, "Demi apa, bisa ga si gue minjem alat Doraemon yang bentuk telor itu. Yang buat masukin orang ke sana terus kalo netas orangnya jadi suka gue."
"Ya gimana ya," Willa bicara dengan nada sok berpikir. "Doraemon cuma ada di abad ke-22, sekarang baru 21."
"Kalo kata Chairil Anwar, ekhem, aku mau hidup seribu tahun lagi~" Aira meniru nada pada musikalisasi puisi yang pernah dilihatnya di YouTube.
"Lu cuma perlu hidup sampe tahun 2200."
"Kalopun gue hidup Arsen-nya udah punya cicit." Aira kembali memungut pulpen abu abunya, "Eh, tapi gapapa deh. Tak dapat Arsen, cicitnya pun jadi."
Terdengar helaan napas Willa di ujung sana, "Dah sesat, Aira dah sesat."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurt [END]
Ficção AdolescenteArdan Oliver jatuh cinta pada Aira, si bungsu kesayangan mama dan papa. Namun alih-alih setia kepada Ardan sepenuh hati, Aira masih saja terpana oleh teman sekelasnya, Ari. Kurangnya rasa bersyukur membuat Aira kehilangan keseimbangan akan dunianya...