18. Berharap Tidak Tahu

45 35 6
                                    

Orang bilang, lebih baik mengetahui sebuah fakta menyakitkan ketimbang menikmati rasa manis di atas kebohongan. Tapi kalimat itu tidak berlaku bagi Ardan.

Ardan pikir, ia memang seharusnya tidak tahu, ia memang seharusnya tidak mendengar apa yang ia dengar selama ini, pun seharusnya tidak melihat yang selama ini ia lihat.

Ardan mencintai Aira, menyayanginya sepenuh hati melebihi apapun yang pernah Ardan ketahui. Aira pun menyayangi Ardan, mencintai Ardan, meski tak seperti Ardan mencintai Aira. Ardan sayang Aira setulus mentari kepada bumi, tapi Aira membalasnya hanya setengah hati.

Jangan kira Ardan tidak tahu, Ardan tahu dan justru sedang berharap tidak pernah tahu.

Bagi Ardan, Aira adalah bintangnya. Bintang paling terang yang ia punya, bintang paling berharga di tengah gelap malam. Aira adalah sosok perempuan nomor dua di hati Ardan, setelah ibunya yang ia umpamakan sebagai bulan.

Sayangnya, cinta sebesar apapun yang Ardan punya tidak mampu membuat Aira sepenuhnya menjadi miliknya. Aira memang gadisnya, kekasihnya, berstatus sebagai pacarnya, tapi Ardan lebih dari sekedar tahu kalau hati Aira bukan milik Ardan sepenuhnya.

Hati Aira terbagi, setengah untuk Ardan, setengah lagi untuk...

Arsen.

Jangan kira Ardan tak tahu kisah pekat itu. Dua tahun bersama Aira, tak satu pun perasaan Aira yang luput dari pengetahuan Ardan.

"Yo." Suara berat itu menyapa, tenang dan dingin seperti biasa.

Ardan menoleh, memberikan cengiran terbaik yang ia punya. "Halo, Mr. Kulkas Empat Puluh Dua Pintu, piye kabare?"

"Not bad." Arsen melempar tubuhnya ke ranjang besar milik Ardan.

"Emhh, kelakuannya anak dajjal. Seenak jidat masuk rumah orang gak ketok pintu, pake rebahan lagi di kasur suci gue, keluar lo! Kasur indah gue bisa ternoda gara gara ditidurin makhluk halus macem lo." Ardan menampilkan raut sebal bercampur sakit hati.

"Kasur lo empuk." Hanya itu yang Arsen keluarkan sebagai balasan atas kalimat panjang Ardan.

"Woiya, jelas." Ardan tersenyum bangga, wajahnya berubah memasang ekspresi angkuh. "Lo mana punya yang kek gitu, cih."

"Hm." Balas Arsen seadanya.

Ardan kembali memasang ekspresi riangnya, memasang topeng seolah sedang baik baik saja padahal sedang berhadapan dengan sumber sakit hatinya, orang yang mungkin harusnya ia benci.

"Tumben lo dateng, Sen. Mau minjem duit?" Ardan mendekati Arsen dan duduk di tepi ranjang.

Arsen yang sedang rebahan ikut mendudukkan diri. "Pinjem pacar boleh?" Arsen tersenyum sinis.

"Bangsat." Ardan mendengus.

Arsen terkekeh pelan.

"Kasian." Kata Arsen datar.

"Iya, gue tau, tampang menawan nan mempesona macam gue emang perlu dikasihani dalam kondisi ini." Ardan menjawab acuh.

"Bener."

Jawaban Arsen lagi lagi membuat Ardan mendengus, "Sialan."

"Putusin aja, biarin dia buat gue."

"HEH!!!"

Arsen terkikik. Ucapannya tadi memang tak ada maksud apapun, hanya sekedar candaan berdasar fakta yang bila ditanggapi serius bisa menimbulkan sakit hati fatal untuk Ardan.

"Gue gak minat pacar tepos lo." Arsen meluruskan, tak mau Ardan merasa tersaingi.

"Pacar gue juga gak minat badan krempeng lo!" Sinis Ardan sebal.

"Bohong." Balas Arsen dingin.

Lagi lagi Ardan mendengus, ia selalu kalah jika berdebat tentang hal ini dengan Arsen. "Anjing."

Arsen terkekeh lagi.

Sejatinya, antara Arsen dan Ardan, keduanya sama sama tahu perasaan Aira. Arsen tahu kalau Aira menyukainya, dan Arsen tahu kalau Ardan tahu bahwa dia tahu hal itu. Rumit.

Aira menjadi tokoh bodohnya di sini, yang paling tidak tahu apa apa, yang paling tidak mengerti apa apa. Bahkan Ardan dan Arsen pun ikut bingung dibuatnya, tapi satu yang mengesankan, keduanya masih bisa akur seolah tak terjadi apa apa.

"Gue gak akan ambil Aira dari lo." Ucap Arsen sungguh sungguh, nadanya masih datar.

Arsen memang tidak ingin merebut Aira karena Aira memang milik Ardan. Arsen senang melihat hubungan Ardan yang unik dan rumit, meski kadang ikut pusing memikirkannya. Itu sebabnya Arsen memilih tidak peduli.

"Gue tau." Balas Ardan yakin.

"Tapi kalo lo lepas dia, dia bisa langsung jadi punya gue dalam sedetik." Sambung Arsen.

"Idih. Gaya lo." Ardan bergidik.

Lalu keduanya tertawa.

Sejujurnya, ini terasa berat untuk Ardan. Dan Arsen tahu hal itu, bagaimana perasaanmu jika kamu tahu fakta bahwa pacarmu menyukai sahabatmu? Marah, sedih, kesal, kecewa, mungkin emosi normal yang akan kebanyakan orang rasakan.

Tapi tidak dengan Ardan.

Diam diam Arsen mengagumi sahabatnya itu. Ardan yang tenang meski dilanda risau, Ardan yang ceria meski hatinya patah, Ardan yang tersenyum meski jiwanya hancur, Ardan yang riang meski dilanda badai cemburu.

Orang normal mungkin akan memilih mengakhiri hubungan dengan Aira jika berada di posisi Ardan, atau mengamuk membabi buta menghabisi Arsen, tapi rasa cinta yang terlebih besar membuat Ardan bertahan tanpa syarat. Pun rasa sayangnya sebagai kawan pada Arsen membuatnya tetap tinggal walau berulang kali tertampar realita menyakitkan. Meski hatinya hancur, meski jiwanya koyak, meski dadanya hendak pecah, Ardan akan tetap bertahan untuk Aira dan Arsen.

Arsen tahu, Ardan pasti merasa sakit setiap bertemu dengannya. Ardan pasti merasakan itu, rasa perih yang mengiris hati setiap Ardan melihat Arsen, melihat orang yang membawa setengah hati kekasihnya. Di balik wajah ceria yang ia tampilkan setiap hari, di balik tubuh indah idaman para gadis, dan di balik bahu lebar tempat Aira nyaman bersandar, Ardan juga tetaplah seorang manusia yang bisa menangis.

Hanya saja Arsen tidak pernah tahu dimana laki laki itu melampiaskan tangisnya selama ini, tapi Arsen yakin, Ardan tidak akan melampiaskannya dengan gadis lain. Ardan terlalu lemah untuk itu.

"Lo cowok paling bego yang pernah gue kenal." Celetuk Arsen.

"Dan lo cowok paling laknat yang gue anggap sahabat." Sahut Ardan. Setelahnya, ia tertawa.

Di balik tawa itu, Ardan menyimpan luka. Luka yang sama sekali tak ia harapkan, luka yang membuatnya berharap ia tak pernah tahu semua ini. Mungkin menjadi buta dan tuli akan lebih baik dibanding menjalani semua ini.

Fakta bahwa Aira mencintai Arsen sangat melukai Ardan.

Lantas, bagaimanakah perasaan Arsen pada Aira?

Itulah yang saat ini jadi pertanyaannya.

***

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang