Kamis malam, pukul 23.47
Ardan baru saja keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan celana pendek dan handuk kecil yang disampirkan di pundaknya, ia meraih ponsel dan menelepon seseorang.
Panggilan diangkat saat dering kelima, Ardan mendudukan dirinya di tepi ranjang sambil mengacak rambut setengah basahnya dengan handuk.
"Hmm?" Suara di ujung sana terdengar malas.
"Yo." Sapa Ardan tak kalah malas, siapapun bisa dengan mudah mengetahui Ardan sedang lelah hanya dengan mendengar suaranya.
"Kenapa lo?" Laki laki di ujung sana bertanya datar, namun terselip sedikit rasa khawatir untuk sahabatnya.
Ardan tak tahu harus menjelaskan bagaimana, maka ia hanya mendengus.
"Kenapa?" Tanya Arsen lebih serius.
"Ck." Ardan malah berdecak. "Pokoknya, apapun yang lo pikirin sekarang, itu beneran."
Hening sejenak.
"No way!" Arsen tiba tiba panik. "Gak. Gak mungkin. Lo nipu gue kan?"
Ardan terkekeh pelan, "Buat apa?"
Arsen diam.
Ardan menyungging senyum simpul. Inilah yang ia sukai dari Arsen, entah bagaimana caranya keduanya seolah olah punya ikatan batin yang kuat. Arsen bisa dengan mudah mengetahui isi kepala Ardan tanpa harus Ardan jelaskan terlebih dulu.
Mungkin kata yang lebih tepat adalah, Arsen terlalu peka.
"Wait, wait." Arsen terdengar semakin serius. "Sama temen sekelasnya? Cowok jangkung rambut panjang?"
Untuk yang satu ini, sepertinya bukan karena tingkat kepekaan Arsen yang tinggi. Ardan rasa, sahabatnya mengetahui sesuatu. "How do you know?"
"Shit." Arsen mengumpat pelan. "Gue beberapa kali liat Aira boncengan sama cowok itu. Gue kira dia udah dapet izin dari lo."
"Bangsat!" Seru Ardan kalap. "Kenapa lo gak bilang sama gue dari awal, anjing?!"
"Yoo, chil bro." Balas Arsen tenang. "Gue gak tau itu selingkuhannya. Gue pikir selama dia gak ganggu gue, gak bakal ada yang terjadi."
Helaan napas kasar terdengar dari Ardan. "Gak bakal gue biarin dia pulang sama cowok anjing itu lagi."
Malam itu, Ardan bersungguh sungguh akan menghentikan Aira. Maka hari ini, siang ini, Ardan melakukannya.
Ia datang bahkan sejak sebelum bel pulang berbunyi, hanya untuk memastikan Aira tidak pulang dengan 'cowok anjing' itu. Dan upayanya ternyata berhasil, Aira tidak jadi pulang dengan Ari.
Gadis itu justru sedang meringis ketakutan di balik punggung Ardan. Meringis ketakutan.
Ardan segera memelankan laju motornya, berhenti di pinggir jalan untuk menetralkan emosi sekaligus membiarkan Aira tenang untuk sesaat.
"Ra," panggil Ardan pelan, laki laki itu tak bisa turun dari motor karena Aira memeluknya begitu erat.
"Ardan... aku takut..." suara Aira terdengar bergetar.
"Maaf," Ardan menyentuh punggung tangan Aira yang memeluknya.
Perlahan, Aira mendongakan kepalanya. "Maafin aku, Ardan. Jangan kayak tadi."
"Iya, Ra. Maafin aku juga."
"Ardan.. maafin aku soal yang kemarin?"
Ardan tidak menjawab yang satu itu, hanya hela napasnya yang terdengar. "Kita pulang ya."
"Hm, iya." Aira kembali menunduk.
Motor ninja itu melaju lagi, Ardan berusaha memacunya sepelan mungkin. Saat itu juga Ardan sadar, pilihannya menjemput Aira dengan motor adalah sebuah kesalahan. Apa lagi motor ninja hitam kesayangan Darren.
***
Aira melompat turun, berlari lari kecil memasuki rumahnya. Di belakang, Ardan yang baru saja memarkir motor mengikuti dengan langkah pelan. Menyadari hal itu, Aira menoleh.
"Ardan ga mau masuk?"
Ardan tersenyum tipis, Kenapa jadi makin manis sih tingkahnya?
Melangkah mendekati Aira yang menunggunya. "Kamu ganti baju dulu, aku tunggu di halaman belakang."
Aira mengangguk seperti anak kecil, meraih tangan kanan Ardan yang hanya diam, lantas menyaliminya seperti anak kecil pula.
Ardan menatap Aira tak paham. Yang ditatap hanya nyengir, "Hehe."
Lantas berlari menuju kamarnya di lantai atas. Lima belas menit kemudian, Ardan dan Aira sudah ada di halaman belakang. Duduk di bawah pohon beralaskan rumput segar menghadap ke arah kolam renang di depan mereka.
Cukup lama keduanya disekap hening. Aira hendak bersuara, namun lebih dulu dikejutkan dengan Ardan yang menjatuhkan kepala di atas kepalanya, memeluknya dari samping.
"Ardan?" Panggil Aira pelan.
"Jangan pergi." Hanya itu yang Ardan katakan.
"H-hah?" Aira tidak paham saking lemotnya.
"Jangan pergi, Ra. Jangan pergi." Ardan menekankan dengan suara bergetar.
Aira mencoba menegakkan kembali tubuh pacarnya, lantas menatap dalam netra cerah itu. Hanya ada luka yang Aira temukan, segala binar bahagianya tak lagi tampak. Aira ikut hancur melihatnya.
"Maaf," giliran Aira menjatuhkan diri ke dekapan Ardan. Memeluknya erat.
Ardan membalas pelukan itu tak kalah erat, takut kehilangan gadis yang begitu disayanginya. "Ssst, jangan minta maaf, kamu gak salah."
Demi mendengar kalimat itu, Aira melepas pelukannya dan menatap Ardan penuh tanya.
Ardan tersenyum tipis menatap mata gadisnya, sebelah tangannya mengusap sisi samping kepala Aira dengan lembut. "Kamu gak salah, sama sekali engga. Aku yang bego, Ra. Aku gak bisa bikin kamu nyaman, gak cukup baik buat kamu. Maafin aku ya?"
Ya Tuhan. Demi mendengar kalimat itu, Aira tidak bisa untuk tidak menangis. Air matanya luruh seketika, terisak isak memeluk Ardan. Tak ada kata yang mampu ia ucap, bibirnya kelu seketika.
Di seberang sana, Dimas dan Lusi rupanya juga memperhatikan dalam diam.
"Dia laki laki langka," Lusi berkomentar. "Beruntung banget Aira dapet cowok seperti Ardan."
Masih dalam diam, Dimas menyetujui.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurt [END]
أدب المراهقينArdan Oliver jatuh cinta pada Aira, si bungsu kesayangan mama dan papa. Namun alih-alih setia kepada Ardan sepenuh hati, Aira masih saja terpana oleh teman sekelasnya, Ari. Kurangnya rasa bersyukur membuat Aira kehilangan keseimbangan akan dunianya...