10. Membuka Mata untuk Dunia

53 43 6
                                    

Kondisi kelas sudah sepi saat jam dinding yang menggantung menunjukkan pukul 14.46, di luar hujan sudah reda, tinggal Aira dan Zia yang ada di kelas.

"Zi, Abang gue udah di depan katanya." Aira berdiri, memasukkan ponselnya ke saku.

Zia ikut berdiri dan mengangguk, "Gue juga pulang sekarang."

Zia dan Aira berjalan beriringan di geladak kelas yang sunyi, udara bulan Oktober yang dingin terasa menggigit hingga ke tulang. Aira berhenti saat melihat Zia yang berjalan di sebelahnya juga berhenti, Aira menoleh, penasaran.

"Kenapa?"

Zia berbalik, "Gue lupa. Gue parkir di belakang hari ini."

"Yah, pisah deh kita." Aira menunjukkan wajah memelas, Zia tetap datar. "Ya udah, bye, Zi! See you tomorrow!"

"Yea, see you!" Zia melambaikan tangan tanpa menoleh.

Aira melanjutkan langkahnya menuju gerbang, ia sedang melamun saat melewati ruang UKS, dan jantungnya hampir saja berhenti berdetak saat seseorang melompat keluar dari balik pintu UKS.

"Dor!!!"

"ANJIR!!!" Aira melangkah mundur, memegangi dadanya yang terasa sakit karena degupan jantung yang tidak normal.

"Hahahahhaha!!" Orang yang mengagetkan Aira justru tertawa tanpa rasa bersalah, ya, siapa lagi kalau bukan Angga Ari Adnyana, sosok laki laki bertubuh jangkung, kulit cokelat cerah, serta rambut badai yang acakable itu.

Cengiran khasnya membuat Aira semakin sebal, sekaligus merasa berdebar. "Bangsat lo, Ar!" Bikin jatuh cinta tau gak?!

Aira tentu tidak melanjutkan kalimat terakhir, mana berani dia.

Eh, gue mikir apaan, anjir! Kan ada Ardan! Ardan masih ada! Masih idup! Kayanya. Eh.

"Hahaha, sori, Ra. Abisnya lo lucu kalo kaget gitu." Ari berjalan mendekat, masih dengan sisa tawa.

"Lucu lucu, pale lu! Kalo gue mati jantungan emang lucu?" Aira memasang wajah sok seram.

"Tuh kan, tambah lucu kalo galak." Ari terkekeh.

"Serah lu dah, Jaenudin."

"Iya, Marpoah sayang."

"Dih, Marpoah mah ayam!" Aira tertawa sendiri.

Meski tak paham apa maksud Aira, Ari ikut ikutan tertawa saja, biar gak krik. Aira berjalan, meneruskan niat menuju gerbang. Ari membuntuti, mensejajarkan langkah di samping Aira.

"Pulang sama siapa, Ra?" Tanya Ari.

"Sama Abang."

"Ooh, udah dateng?"

Aira mengangguk. "Udah di depan katanya."

Ari mengangguk anggukan kepala.

"Kenapa emang?" Aira menoleh, "Mau ngajak bareng?"

Ari mengedik, mengalihkan pandangan. "Eh, ee.. engga."

"Terus?"

"E.. anu, itu..."

"Ya udah, besok gue bareng ya." Katanya ringan.

"Hah?" Ari kaget, menoleh, menatap Aira yang wajahnya kelewat santai.

"Apa?" Aira balas menatap Ari, ia perlu mendongak karena Ari yang terlalu tinggi baginya.

"Lo bener mau bareng?" Tanya Ari memastikan.

Aira mengangguk ragu, "I..ya. Gak boleh?"

Ari memasang wajah super gembira seketika, "Boleh dong, apa sih yang engga buat Aira. Hahaha."

Anjir baper. "Hahaha, anjaaay." Aira mencoba tertawa senatural mungkin.

Dua meter lagi mereka sampai di gerbang, terlihat mobil hitam milik Dimas sudah menunggu. Aira menoleh pada Ari, "Itu Bang Dimas, eh, lo parkir di mana, Ar?"

"Di belakang." Jawab Ari santai.

"Lah, terus ngapain ikut ke sini?" Heran Aira.

"Biar asik aja, jalan bareng. Haha." Ari menggaruk belakang kepalanya.

"Dih, gaje." Aira terkekeh.

"Ya udah sana, udah ditungguin tuh." Kata Ari yang berhenti melangkah saat melewati gerbang.

"Iya." Aira mengangguk, berlari lari kecil mendekati mobil Abangnya. Saat sudah ada di dalam mobil, Aira menurunkan kaca dan melambai pada Ari yang tersenyum padanya. "Dadah!"

"Dah," Ari balas melambai.

Mobil yang dikemudikan Dimas melaju membelah jalanan sore sehabis hujan, suasana terasa segar dan menenangkan meski kondisi jalan cukup ramai. Aira menaikan lagi kaca mobil, lalu bersandar pada jok empuk.

Ia memejamkan matanya, Dimas yang melihat itu tak ingin mengganggu, padahal ia ingin menggoda Aira dengan bertanya siapa cowok tadi. Aira tidak benar benar tidur, ia hanya merenungkan sesuatu. Hal hal kecil yang terjadi hari ini rupanya mampu membuka sudut pandang baru bagi Aira, misalnya, tentang kehidupan.

Aira pikir, sebaiknya ia mulai membuka mata untuk lebih melihat dunia ketimbang terus terusan terkurung dalam universe yang ia jalani selama ini. Dulu, Aira menganggap hidupnya sudah cukup sempurna, keluarga yang lengkap dan harmonis, ekonomi berkecukupan, seorang pacar setengah bule, apa lagi yang kurang?

Tapi setelah jam kosong penebar hikmah tadi siang, Aira jadi sadar kalau dunianya bukan hanya sekedar Mama, Papa, Willa, Bang Dimas, Ardan, dan Arsen saja. Masih banyak hal yang bila dilihat mungkin akan membuatnya menemukan secuil bahagia baru, seperti bahagianya saat mendengar suara Ari yang seolah selalu berbisik merdu di telinganya.

***

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang