45. Bersyukur Memilikinya

21 14 0
                                    

Senin malam, pukul 20.00

Ari : Gue ada salah ya sama lo? Kenapa lo gak kayak biasanya?

Aira tertegun menatap pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Itu adalah satu dari ratusan pesan yang menerobos pop up ponselnya sejak dua hari terakhir.

"Sori, Ar. Gue cuma..."

Bahkan tidak ada kata kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Aira saat ini. Tapi ada hal lain selain mengutarakan apa yang ia rasakan pada dirinya sendiri sekarang. Aira bingung harus menjawab apa.

Alhasil ia hanya mengacuhkan pesan itu, seperti pesan pesan sebelumnya.

"Sori, Ar. Sorii. Gue... gue sayang lo. Tapi... maaf." Aira tidak melanjutkan kalimatnya lagi.

Aira sudah mengambil keputusan, ia akan bersama Ardan. Maka Aira juga harus melewati step yang satu ini, menjelaskan segalanya pada Ari. Sayangnya, Aira merasa tidak mampu.

Ia menurunkan ponselnya, meletakkannya di atas meja rias. Lantas melanjutkan mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Pandangannya menatap cermin, namun tentu saja pikirannya melayang jauh.

"Gue harus apaaa?!" Pekiknya pada akhirnya. "Gue... gue sayang sama lo!!!"

Cklek.

Aira menoleh kaget saat pintu kamarnya tiba tiba dibuka oleh Dimas. Melihat mata adiknya yang memerah, Dimas segera mendekat.

"Astaga, Ra. Lo kenapa? Jangan bilang mata lo kecolok sisir?" Dimas menangkup wajah adiknya.

Aira mematikan pengering rambut dan meletakkannya di atas meja, lantas bangkit begitu saja menenggelamkan diri pada pelukan Dimas. Dimas yang tidak tahu apa apa memilih membalas saja pelukan adiknya.

"Bang... gue sayang dia, Bang. Gue sayang..." Aira mulai terisak.

Dimas tertegun. "Lo... bahas siapa?"

Tak ada jawaban dari Aira, hanya isakannya yang semakin menjadi.

Pada akhirnya, Dimas memilih mengusap bagian belakang kepala sang adik dengan lembut. "Sssshh, lepasin, Ra. Bilang apa yang lo mau, teriak aja kalo itu bikin lo lebih baik."

"Gue sayang Ari... sayang banget..." Aira mengeratkan pelukannya pada Dimas. "Ari Adnyana! Gue sayang sama lo!!!"

Dimas terdiam. Ini lo emang sesayang itu sama dia apa kena pengaruh sinetron terus jadi lebay sih, Ra?

"Gue gak sanggup lepasin lo, engga... gak sanggup, Ar!" Aira mengikuti kata Dimas, mengatakan apa yang ingin ia katakan. "Gue mau kita sama sama terus, gak peduli apa yang orang bilang, pokoknya gue mau sama lo! Gue sayang, gue cinta sama lo, Ari!!!"

"Gue mau sama lo. Gue sayang sama lo..." Aira menenggelamkan wajahnya pada dada bidang kakaknya. "Gue minta maaf karena harus lepasin lo... maaf karena gue gak bisa terus sama lo walopun gue pingin..."

Dimas semakin terdiam, memilih menjadi pendengar.

"Gue... Ar, gue gak tau gimana jelasinnya. Gue sayang banget sama lo tapi gue gak bisa... gue gak mau ginii... rasanya ga enak... gue mau mati aja--"

"Ra," Dimas menegur. "Lo boleh nangisin dia, boleh bilang apa aja yang lo mau. Tapi inget batasannya."

Perlahan pelukannya mengendur, Aira mengangkat wajahnya yang langsung ditangkup oleh Dimas dengan kedua tangan.

"Adek gue udah gede ya, udah bisa cinta cintaan." Dimas terkekeh, mengusapi air mata yang mengalir di pipi tembam adiknya. "Lo udah cukup bodoh karena ngebiarin perasaan lo melayang ke sembarang tempat, jangan jadi tambah bodoh dengan bunuh diri gara gara cinta monyet."

Aira mendengus, tahu apa abangnya ini tentang perasaan.

"Yeu, gak percaya dia." Dimas mencubit pipi Aira. "Walaupun jomblo, Abang Dimas Wiratama ini pakar cinta, Ra."

Aira meringis, menepis tangan Dimas.

"Stop being stupid, it's hurt you so bad." Dimas menghapus sisa air mata Aira sekali lagi. "Jangan gitu lagi ya?"

Aira mengangguk, menarik dan mengembuskan napasnya. "Gue bakal belajar setia biar gak terluka."

Dimas balas mengangguk, "Adek pinter. Sini peluk lagi."

Aira menjatuhkan diri dalam pelukan Dimas, memeluk erat erat tubuh laki laki yang secara harfiah selalu ada untuknya.

Senyum tulus terlukis dari bibirnya, "Gue bersyukur punya lo, Bang."

"Dih," Dimas terkekeh. "Lo nyusahin, Ra. Bikin panik aja. Tapi gue juga bersyukur punya lo, ngerasa berguna gitu, hehe."

Aira mengeratkan pelukannya. Memiliki Dimas sebagai seorang kakak sungguh membuat Aira bersyukur, sebab laki laki itu tak pernah membuatnya terluka. Selalu menjaganya seperti yang Hendra lakukan.

"Lo cowok paling abang-able yang gue kenal, hehe."

Dimas hanya bisa tertawa mendengar celetukan adiknya.

***

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang