23. Mama

2.5K 279 57
                                    

Sejak beberapa jam yang lalu Altarel hanya diam. Menatap hamparan kelap-kelip bintang yang tampak sangat indah malam ini.

Bibirnya perlahan terangkat membentuk seulas garis senyum. Senyuman tulus yang tak pernah ia tunjukkan kepada siapapun sebelumnya.

Tenang dan damai. Itulah yang Altarel rasakan sekarang ini. Perasaan lega sekaligus juga hampa. Tidak seperti hari-hari biasanya. Altarel mulai merasa hidupnya terasa lebih berarti. Belakangan ini ia merasa hal baik akan segera datang kepadanya.

"Mama, Prince rindu..."

Bergumam pelan. Matanya tak pernah lepas dari sang bintang diatas sana. Rasa rindu yang begitu menyesakkan dada. Rasa rindu yang amat sangat untuk sang bunda yang tengah terbaring dirumah sakit sana. Ibunya. Wanita yang telah melahirkannya kedunia.

"Rel..."

Altarel mengusap sepercik air mata yang hampir keluar dari sudut matanya. Astaga, saking rindunya dengan Mama, Altarel sampai tak sadar jika dia baru saja menangis.

"Ngapain disini? Gak dingin?" tanya Jelita yang sekarang sudah berdiri disampingnya, "Tunggu dulu! Kamu nangis, ya? Siapa yang nyakitin kamu? Sini bilang sama aku."

Lucu sekali. Altarel yang mendengar itu lantas langsung tertawa. Ada-ada saja tunangannya ini.

Memang semenjak kejadian waktu itu, Altarel dan Jelita semakin terbuka satu sama lain. Jelita juga sudah mulai menerimanya. Tidak ada keterpaksaan lagi disini. Bahkan, mereka berdua tak ragu lagi untuk saling menunjukkan kemesraan mereka didepan umum.

"Sama siapa kesini?" Altarel bertanya sambil menatap Jelita dalam.

"Sama Sastra. Dia ngajakin aku kesini buat bahas soal penyerangan yang menimpa Arkana dan Hazel waktu itu, sama anak-anak The Daz's yang lain," jelas Jelita. Benar. Mereka kini tengah berada di dalam markas besar Dangerioz. Sastra yang mengajak Jelita kemari lantaran Regal dan Biru meminta mereka untuk datang guna mengorek informasi lebih dalam tentang siapa dalang dari penyerangan Arkana-Hazel hari itu.

Altarel menganggukkan kepalanya mengerti, "Kenapa gak bilang sama aku kalau mau kesini? Biar aku bisa sekalian jemput kamu." Jelita meringis. Mendengar Altarel berbicara kepadanya dengan embel-embel 'Aku-Kamu' membuat hatinya menjadi tidak karuan. Karena biasanya jika tidak dengan bahasa kasar ya dengan umpatan-umpatan menjijikan Jelita memanggil laki-laki itu.

Seperti yang kita tau sejak dulu Jelita sangat membenci kehadiran Altarel dihidupnya.

"Sengaja hehe. Lagian 'kan perginya sama Sastra bukan sama cowok lain," balas Jelita dengan senyum manis.

Altarel terkekeh pelan, "Awas aja kalau kamu berani pergi sama cowok lain. Apalagi sama Arsen teman sekelasmu itu. Aku kurung beneran kamu!" gertaknya. Jelita tertawa renyah. Altarel memang sudah lebih baik dari sebelumnya. Tetapi sifat posesifnya masih tetap sama hingga sekarang.

"Oh, iya. Kamu tadi kenapa? Kok nangis. Kangen sama Mama, ya?" Dugaan dan tepat sasaran Jelita bertanya dengan hati-hati. Tau betul jika menyangkut soal 'Mama' Altarel akan sangat sensitive. Cowok itu tidak ingin orang-orang tau apa yang telah dialaminya.

Jelita tentu tau semua itu, karena sedari kecil mereka sudah dijodohkan. Bahkan, sebelum Ibunda dari Altarel koma. Ya, bisa dibilang Jelita juga merupakan salah satu orang yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana runtuhnya keluarga Danadyaksa pada masa itu.

Dulu mungkin Jelita tidak ingin peduli dan terlihat acuh. Namun, sekarang situasinya sudah berbeda. Jelita mulai peduli dan membuka hati untuk tunangannya, Altarel.

"Enggak."

"Bohong banget."

"Gak apa-apa Jelita. Aku tadi cuma kelilipan aja. Emang pernah kamu lihat aku nangis? Enggak 'kan," kata Altarel sambil mencubit pipi Jelita gemas mencoba meyakinkan gadis itu.

Lovesick GirlsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang