Semenjak pelukkan mereka di bandara, hubungan Ayzhan dan Lucca semakin mengerat. Masih ada sedikit selisih paham, namun mereka dapat mengatasinya. Bahkan mereka juga sudah bisa bersama-sama menghadapi situasi saat akhirnya nyawa Ashya bahkan tidak tertolong lagi di sepuluh bulan kemudian.
Tak tanggung-tanggung, ketika pemakaman Ashya berlangsung. Duka masih menyelimuti benak Ayzhan, namun Lucca selalu ada di sisinya, memeluk Ayzhan erat.
"Kamu lihat sendirikan, Ay. Ibumu sampai meninggal, ini semua karena ibumu menikahi ayahmu. Sebelum terlambat, tinggalkan suamimu. Ikut kami ke Yogyakarta." Brata mengucapkannya dengan keras, bahkan saat tanah makam Ashya masih belum kering.
Lucca sendiri terdiam, tidak bisa mengatakan apapun. Ayzhan yang masih menangis, menatap tajam kakeknya. "Jadi menurut Yangkung, ini semua salah Ayah?"
"Tentu saja, selama ini Yangkung dan Yangtimu selalu menjaga Ashya dengan baik. Membuat penyakit jantungnya jarang kambuh, bahkan sampai membahayakan dirinya. Tetapi anak itu lebih memilih menikahi pria asing di banding pria pribumi. Meninggalkan rumah, sampai dia sendiri yang terkena tulahnya!" Brata berkata dihadapan makam Ashya.
Kemarahan telah menguasai diri Ayzhan saat itu, "Yangkung tahu, Ayzhan berpikir apa? Jika semuanya berawal dari keegoisan Yangkung! Yangkung hanya mementingkan kebahagiaan Yangkung sendiri, bahkan mungkin Yangkung tidak tahu makanan kesukaan Bunda. Karena Yangkung yang terlalu mendikte kehidupan Bunda agar sesuai dengan standar Yangkung.
Bukan pernikahannya dengan Ayah yang membuat Bunda jatuh sakit, tapi karena ambisi Yangkung yang selalu menjadi beban pikiran Bundalah yang membuat Bunda jatuh sakit. Bahkan karena ambisi Yangkung, Ayzhan telah kehilangan sosok Ayah yang selama ini Ayzhan banggakan. Dan sekarang, saat Ayzhan mulai bahagia dengan pernikahan Ayzhan ... Yangkung meminta Ayzhan melepas Mas Lucca. Nggak, Ayzhan nggak mau."
Nantya meraba pundak suaminya, "Kang Mas."
"Apa Dinda? Anak ini memang sama-sama keras kepalanya dengan Shya kita." Brata masih saja marah.
Saat Ayzhan akan membalas, Lucca menghentikannya. "Cukup, Ay."
"Mas, tapi." Ayzhan akan menyanggah suaminya.
Lucca menggeleng dengan wajah serius, "Masih ada banyak orang, ini juga dipemakaman. Bunda baru saja dimakamkan, makamnya masih merah. Apa kamu tega bertengkar dihadapan makam Bundamu sendiri? Kasihan Bunda, Bunda butuh ketenangan. Bunda butuh doa kita, bukan pertengkaran kita yang masih hidup."
Nantya melihat ketegasan dari sosok Lucca saat mendengar suami cucunya berbicara. "Dinda setuju dengan Lucca. Untuk kali ini Kang Mas keterlaluan. Ayo Ay, kita kembali ke rumah."
Ayzhan menggeleng, "Ayzhan mau sama Mas Lucca, Yangti."
"Ya sudah, Yangti ikut mobil kalian boleh?" Nantya bertanya.
Ayzhan menoleh ke arah suaminya, Lucca mengangguk. "Boleh, Nyonya."
"Kok Nyonya, mulai sekarang Yangti akan merestui kalian. Panggil Yangti juga sama seperti Ayzhan ya, Lucca." Nantya sungguh-sungguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI KETUJUH
RomansTuhan memiliki tujuannya masing-masing dalam menciptakan setiap umatnya dengan kekurangan dan kelebihan mereka. Termasuk ketika Tuhan menciptakan keistimewaan pada beberapa ciptaan pilihannya. Senona Ayzhan Gemantara Pertemuan kita layaknya takdir...