THE ISSUES PT.1: Prologue

2.4K 225 4
                                    

Babak pertama kehidupanku dimulai dari ucapan yang dikuapkan oleh banyak orang. Percayalah, bukan hanya satu mulut saja yang pernah berkata padaku bahwa menjadi orang tua akan membuatmu berkali-kali lipat lebih dewasa, hangat, serta bijaksana. Namun saat aku terlahir ke dunia, ayahku berwajah sepucat lantai marmer, berusaha menepis kalau aku lahir dengan selamat dan barangkali ingin menjerit-jerit sambil mencekik dokter (oke, bagian terakhir memang tidak terjadi sebab ibuku sudah keburu berteriak agar ia tetap waras).

Aku pun tidak akan mengatakan bahwa ayahku itu ayah paling payah sedunia meski ia pernah mengisi botol susuku dengan garam alih-alih gula, tetapi memang kukira tidak semua orang akan berubah menjadi sedemikian rupa. Aku saja sudah bersyukur bahwa pria itu tidak berubah sinting dan melompat dari puncak gedung rumah sakit saat tahu kalau istrinya bisa mengeluarkan manusia kecil melewati selangkangan. Antara idiot dan bodoh, kukira ayahku berada di antara keduanya.

Aku tidak membencinya, sih. Sama sekali tidak.

Babak kedua dari kehidupan kemudian turut serta dimulai tanpa letusan mesiu atau ancang-ancang lari di garis permulaan. Tahu-tahu, hidupku sudah bergulir begitu saja tanpa bisa kucegah. Hidup bersama ayah sama seperti hidup di hutan dan bertahan hidup seorang diri. Saat ayah memutuskan untuk berpisah dengan ibuku─usiaku mungkin baru beranjak lima tahun dan aku diberi pencerahan kalau bercerai itu sama seperti berkata 'dadah' kepada kuda carousel di taman bermain─tetapi aku tersadar bahwa aku terjebak dalam bahaya. Awalnya kuduga ayah akan berkata pada ibu, "Hei, kau bawa saja deh, anak ini. Aku takut membunuhnya tanpa sengaja kalau tinggal bersamaku lebih lama." — tetapi tanpa kuduga ayah malah mempertahankanku selama beberapa tahun sampai hak asuh dilemparkan.

Well, jelas. Aku masih tidak tahu apa alasannya dan tidak berusaha mencari tahu juga. Masa-masa bersama ayah itu tidak buruk. Ingatanku pudar sebab aku masih terlampau kecil, tetapi aku tahu kalau ayah sudah berusaha banyak. Sudah cukup aku mengerti kalau diriku tidak lagi diinginkan, jadi malas saja rasanya kalau tahu aku akan membubuhkan garam ke dalam luka yang menganga. Aku tidak mau juga membuat diriku menderita sendiri dan berubah menjadi heroine yang selalu merintih, "Ah, nian malang nasibku. Aku gadis lemah yang membutuhkan perlindungan."

Peduli setan. Aku akan bertahan hidup. Titik.

Jadi, di sinilah aku sekarang, bertahun-tahun setelahnya; terbuang dan hidup bersama ibu serta seorang kakak tiri yang melangkah keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan menggunakan celana dalam. Jeon Jungkook itu hanya punya kapasitas otak sebanyak seperempat, jadi aku tak terlalu terkejut saat dia mengusap rambut basahnya dengan selembar handuk dan berkata, "Hei, Induk Sapi. Cepat bangun. Kau punya kelas pagi."

Induk Sapi. Kalau begitu akan kusebut dia Raja Kodok.

Jungkook jelas tahu bagaimana cara membuat seseorang terkena serangan darah tinggi di pagi hari. Aku membuka mataku perlahan, menyadari dia sudah mengenakan celana jeans dengan wajah sesegar pria model sabun wajah di TV. Sembari setengah membenamkan wajah pada bantal, kutanya dia dengan nada retoris, "Kau tahu kalau kau menjijikkan, bukan?"

Si Jeon itu mengedip genit—maksudku, benar-benar genit seperti ada bunyi 'kling' dengan efek-efek bersinar di wajahnya. Namun, ia jelas sama sekali tidak berusaha memperbaiki keadaan saat berkata, "Tentu saja tidak. Aku tampan dan punya pesona. Mana mungkin aku menjijikkan."

Aku memasang ekspresi serius, berusaha meyakinkan. "Kau menjijikkan. Sumpah. Cuma punya wajah sedikit tampan saja, jadinya tidak terlalu menjijikkan. Tapi tetap menjijikkan, kok."

Daripada marah, dia cuma tertawa dan aku mengangkat wajah guna memastikan kalau dia sudah benar-benar selesai dengan celananya sebelum bangkit terduduk di atas ranjang untuk mengumpulkan nyawa. Jungkook masih bertelanjang dada. Aku jadi teringat pada roti—apa namanya itu yang ada di etalase bakery—roti sobek? Hanya saja yang ini terlihat padat seperti cokelat. Barangkali aku bisa mengambil beberapa foto dan menjualnya pada gadis-gadis di kampus. Itu ilegal, tidak, sih? Lumayan kalau aku bisa mengumpulkan uang dari situ. Namun bibirku sudah berkata lebih cepat, "Kukira kita sudah membicarakan kesepakatan tentang 'tata cara mengetuk kamar orang lain sebelum masuk seenak jidat'? Coba kutebak, otakmu melupakannya?"

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang