THE ENSUES PT.2

496 32 2
                                    

Berikut merupakan preview dari The Ensues, pt.2. Chapter lengkap hanya bisa dibaca melalui versi cetak. Untuk keterangan lebih lanjut, silakan klik link di bio Wattpad.

***

Meski baru saja dilindas, sulit memastikan bahwa penyebab kematiannya adalah karena hantaman.

Organ dalam hewan tersebut tercecer keluar, aromanya busuk, bekas cakaran melintang dari leher hingga perut bagian bawah. Sepasang mata yang membeliak, mulut menganga, gigi retak, dan darah sehitam aspal panas masih terus mengalir keluar. Terlihat segar, seperti baru saja diterkam. Makhluk malang tersebut mungkin baru saja mereguk keberuntungan—berlari menyelamatkan diri dari predator sebelum berakhir mengenaskan ditandas mobil. Tetapi kendati mayat si rusa masih hangat dan belum membeku, bau tubuhnya membuat Jian teringat akan hewan-hewan yang seharusnya sudah lama mati.

Memalingkan wajah memandang sang pengemudi yang praktisnya menjadi tersangka, gadis itu memiringkan kepala sekilas. "Apa yang harus kita lakukan?"

Tuan Do membanting pintu mobil tertutup dengan rahang bergemeletuk menahan angkara. "Tidak ada."

"Apa?"

"Akan kusingkirkan bangkainya dan kita segera pergi."

Bersandar di kap mobil sementara mesin masih menderu, Jian kemudian berhenti mengibaskan tangan di depan hidung saat menyadari aromanya jadi kian menyeruak, sejenak mengamat-amati bangkai di hadapan netra.

Perutnya masih kembang-kempis seolah merenggang nyawa, bagian daging yang terserak menghiasi jalanan lenggang, separuhnya lagi melumuri sebagian lampu mobil. Merenggut atensi dengan meloloskan satu desah napas keras-keras, Tuan Do yang berkeringat karena menyeret bangkai menepi lantas mengumpat samar, "Hewan gila ini belakangan terasa semakin menjadi-jadi saja! Mereka semua sudah gila!"

Jian pernah melihat hewan mati sebelumnya; seekor bayi tikus yang berada di gudang, tak sengaja tersedot mesin vakum yang ia gunakan—sama sekali tak meninggalkan perasaan nyaman. Kendati hewan pengerat begitu memang dikenal membawa segala macam jenis penyakit berbahaya yang bisa ditularkan terhadap manusia, namun tetap saja menyaksikannya meronta merenggang nyawa bukan hal menyenangkan. Tetapi toh tak ada yang bisa ia lakukan. Jian bukanlah seorang dewi yang bisa menghapus pedih dan membangkitkan yang mati, jadi dibiarkannya makhluk tersebut tewas dengan perlahan.

Namun meski demikian—meski telah mengantongi sepenggal pengalaman usang, ternyata kini hatinya tetap saja menggelegak tak nyaman. Jian juga sama sekali tak tahu apakah rusa memang memiliki kegemaran untuk melompat ke depan mobil yang sedang melaju atau tidak. Apalagi kalau mengingat semua yang Tuan Do katakan lebih mudah diabaikan daripada dipercaya. Pria itu memiliki tendensi berbicara omong kosong.

Iris sabit si gadis lantas dialihkan. Ia memandang Tuan Do yang menatap dingin pada bangkai, mendapatinya mengerutkan kening tak suka, lalu bersungut-sungut samar dengan omelan tipis, "Aku seharusnya tak mengiyakan tawarannya," — atau semacamnya.

Namun sebelum Jian sempat mengatakan sesuatu, sebuah suara sudah menyahut terlebih dahulu, "Tak ada sinyal. Benar-benar nihil. Tetapi kalau mengabaikan lampu depan, mobilnya kurasa baik-baik saja." Jungkook mengawasi situasi, menatap adiknya yang balas memandang lalu menukas, "Nanti sesampainya di lokasi tujuan, akan coba kuhubungi petugas kepolisian lagi."

"Tidak, tidak perlu. Lupakan." Tuan Do melepaskan tuksedo, mengubah sepotong kain tersebut menjadi lap tangan. "Aku sudah menepikan bangkainya, tinggalkan saja. Polisi takkan sudi datang pada jam-jam seperti ini. Kalian berdua harus segera melanjutkan perjalanan."

Jian menaikkan satu alis. "Kami tak terburu-buru."

"Ya, benar." Tuan Do mendesis, "Tapi aku yang terburu-buru."

Kakak beradik tersebut seketika saling melemparkan pandang, menatap dalam bungkam seolah sepakat untuk tetap mengatupkan rahang. Mereka tengah berada di tengah antah-berantah dan memercik angkara di dalam hati seorang pria bertubuh gempal bukanlah keputusan paling bijaksana. Jian menahan diri, berusaha tak mengembuskan napas keras-keras. Tuan Do masih berjengit, ia menghunus tatapan nyalang. Tetapi, kalau memang ada seseorang yang terkena masalah nantinya, toh bukan ia yang mengemudi.

Melemparkan kesalahan terhadap orang lain adalah hal termudah yang bisa dilakukan manusia, jadi Jian tak ambil pusing. Sama seperti sederet pengalaman mengerikan yang sudah berada di balik kepala, hari ini juga hanya akan menjadi kenangan semata.

Namun apabila berbicara soal ingatan, rasanya kelat di lidah jadi kian mengental saja. Apalagi jika menyadari bahwa bukan hanya sekali saja gadis itu merasa, sepertinya ia sudah melupakan sesuatu yang seharusnya tak boleh menguap pergi dari cawan kenangan; memori krusial yang berasal dari waktu yang lampau, lampau, dan lampau sekali.

Ia mendengar banyak teori sinting dari abangnya (tetapi pria itu bekerja di perpustakaan, jadi Jian menerka bahwa Jungkook hanya terlalu banyak membaca buku aneh saja), salah satunya yang berkata bahwa jiwanya sudah menua, terlalu tua hingga tak mampu lagi bisa melupakan seluruh memori pada kehidupan sebelumnya. Itu tak benar, tentu saja. Mustahil dan aneh. Tetapi sialnya, meski telah melakukan semua yang Jian mampu untuk kembali mengingat-ingat, tetap tak ada kepingan yang datang untuk memuaskan dahaga.

Mungkin itu adalah makanan favoritnya yang mendadak lenyap dari ingatan. Ia mungkin memang tak pandai mengingat nama makanan, tetapi rempah-rempah yang meluruh dalam mulut, tekstur yang menggores lidah, serta aroma yang menggelitik hidung—ketiganya tak mudah luput dari kenangan. Padahal Jian sudah mencoba berbagai menu dari banyak belahan dunia, semua jenis yang bisa ditemukan, tetapi tak ada yang bisa memuaskan.

Atau, barangkali sebuah janji temu dengan dokter yang tak sengaja dilupakannya? Tidak mungkin. Kalau sesuatu semacam ini benar terjadi, ia pasti mendapatkan sebuah panggilan dan memastikan bagaimana kondisinya. Lalu, mungkinkah ada pekerjaan yang tak dituntaskan, diabaikan, lalu tak terjamah kembali? Jian yakin bukan. Ia cukup teliti dalam mengelola jadwal, jadi takkan mungkin ada yang terlewatkan begitu saja.

Kalau sudah demikian, lantas apa? Rasanya kosong.

Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam kerongkongan; yang mendesaknya, menekan, mengancam dalam diam. Namun setelah sekian tahun berlalu, tak ada yang terjadi, dan ia masih tak mendapatkan hasil, Jian memutuskan untuk tetap melanjutkan hidup seolah tak ada yang salah.

Well, meski semuanya justru terasa salah-kaprah.

Sekali lagi memandang bangkai rusa yang sudah ditepikan, menemukan sepasang netra gelap hewan tersebut bak dosa yang berpendar, Jian melangkah membuka pintu mobil dan menjatuhkan diri di kursi belakang. Perjalanan ini masih panjang. Mereka tak bisa membuang terlalu banyak waktu untuk meratapi hewan hutan liar yang bernasib sial.

Bersama aroma bekas cerutu yang menempel pada kursi-kursi di bawah tubuh, sesaat kemudian, kendaraan itu sudah kembali meluncur pergi membelah malam. Tak ada yang tahu bahwa si rusa yang tadi sempat mengejang, berhenti bernapas, lalu mati sesaat kemudian, mendadak bangkit, berjingkrak melarikan diri, lalu lenyap ditelan hutan begitu saja. []

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang