Papa menatap namaku diatas kertas yang sudah distabilo. Kutunggu reaksinya. Tetap datar, tidak terkejut atau tersenyum gembira. Seolah hasil kerja kerasku itu biasa saja. Untuk mengabari tentang ini, aku harus menunggu satu hari. Karena papa pulang tengah malam. Sementara salah seorang temanku yang juga lolos langsung diajak makan-makan oleh orang tuanya untuk merayakan.
"Selamat, kamu berhasil masuk UI. Kabari papa berapa biayanya nanti." papa melanjutkan sarapannya.
Hanya itu? Apa tidak ada kalimat lain? Tadinya aku membayangkan mata papa akan berkaca lantas memelukku erat karena berhasil kuliah di kampus almamaternya. Tapi pagi ini, justru mataku yang mulai berkaca karena kecewa. Tapi ya, sudahlah.
"Aku ingin kos. Jauh sekali dari sini."
Papa menggeleng. "Tidak boleh. Almarhumah mamamu pasti akan memarahi papa kalau sampai itu terjadi."
"Mama sudah meninggal. Tidak mungkin dia bisa datang, apalagi sambil marah-marah. Palingan juga menangis!" protesku. Seketika air mataku hilang begitu saja. Sok paling memikirkan perasaan mama.
"Bisakah kamu bicara sedikit lebih sopan pada papa?"
"Yang kukatakan adalah kebenaran. Jadi papa tidak perlu merasa bersalah. Lagi pula mama meninggal sudah lama sekali, sejak kecelakaan."
"Papa tetap tidak mengijinkan kamu untuk kos. Papa akan belikan mobil."
Aku cukup terkejut dengan kalimat ini. Setelah sekian lama tidak peduli padaku. Kini papa tiba-tiba muncul bagai sinterklas dihari natal.
"Nggak usah, aku naik bis saja. Atau kereta. Lebih hemat."
"Terserah kamu."
Hanya itu? Cuma itu? Akhirnya aku memilih diam lalu kembali ke kamar. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Yang penting papa sudah tahu. Sayang uang depositoku belum bisa dicairkan. Kalau sudah, jangan harap kuberitahu. Hari minggunya, aku dan papa berkunjung ke makam mama. Seingatku ini kali keempat kami kemari bersama. Pertama saat mama meninggal. Selanjutnya saat kedua eyangku meninggal. Dan akhirnya sekarang. Selebihnya hanya aku sendiri, atau papa sendiri. Kutatap nisan sambil tersenyum lalu berbisik. Meski begitu tetap berharap agar papa mendengar.
"Ma, Ande masuk UI. Kata eyang dulu, mama pernah bermimpi kuliah di sana. Tapi gagal. Aku melanjutkan mimpi mama. Yakin deh, aku nggak akan mengecewakan. Janji juga nggak akan pacaran sebelum lulus. Apalagi pakai acara hamil duluan. Karena banyak laki-laki yang siap jadi suami tapi nggak sanggup menjadi ayah."
Wajah papa segera berubah saat kulirik. Tapi ia tidak berkata apa-apa selanjutnya hanya menunduk. Bahunya bergetar. Papa menangis! Sudah terlambat pa. Karena orangnya sudah keburu mati! Aku sama sekali tidak iba melihat papa. Lagian aneh, kenapa baru sekarang?
Dari makam, kami makan siang di sebuah mal. Suasana ramai sekali. Aku makan cepat-cepat. Sementara papa sepertinya tidak berselera. Selesai makan kami menuju lantai dasar. Ternyata ada pameran mobil. Papa mengajakku mampir. Kami berkeliling. Papa bertanya tentang spesifikasi yang aku sama sekali tidak paham. Hingga kemudian berkata.
"Kamu pilih salah satu."
Kutatap kendaraan itu dengan malas. Menolak rasanya tidak sopan ditengah tatapan penuh harap dan senyum lebar para sales. Teringat salah seorang omku yang memiliki pekerjaan sama.
"Ada warna kuning?" tanyaku.
"Ada, tapi indent, mbak." jawab salah seorang dari mereka dengan ramah.
"Berapa lama?" tanya papa.
"Dua minggu, Pak."
"Kamu suka?" tanya papa sambil menatapku penuh harap. Seakan keputusanku nanti akan memberikan kesenangan padanya. Entah kenapa aku mengangguk. Karena setelah kupikir, saat hujan deras nanti aku akan membutuhkan kendaraan untuk ke luar rumah. Kalau cuaca panas, aku tetap bisa naik kendaraan umum.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION (Bukan) CINTA SEMPURNA/ OPEN PO/Dihapus Sebagian
RomanceBagi Dandelion, hidupnya tak pernah jauh dari filosofi namanya. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Beradaptasi lalu pindah lagi. Hingga suatu saat, ia memiliki harapan baru. Bahwa perjalanannya akan berhenti disisi pria bernama Martin. Dande...