4

4.7K 1.4K 125
                                    

Sejak hari itu pembicaraan tentang pernikahan mulai terdengar di setiap pertemuan kedua keluarga besar kami. Terutama para tante dari pihak mama yang menginginkan pestaku berjalan dengan lancar dan sesuai tradisi. Aku juga bisa lebih fokus dalam mengurus banyak hal karena sudah selesai kuliah. Tante Agatha banyak menemani dan membantu. Bersamanya aku seperti memiliki ibu yang selalu memberi saran disaat bingung memilih. Kami kerap pergi berdua saja karena martin sibuk dengan pekerjaannya. Dia tidak pernah menemani untuk urusan pernikahan dengan alasan menyerahkan semua pada keinginanku. Hanya sesekali kami bertemu itupun kalau dia pulang agak cepat.

Seperti malam ini kami makan malam di rumah. Iseng aku bertanya, "kamu maunya kita tinggal di mana nanti?"

"Aku sudah punya rumah untuk kita. Sebenarnya itu rumah lama papa dan mama yang diberikan padaku, di BSD."

Keningku mengerenyit, "kenapa di sana? Bukannya apartemen kamu lebih dekat ke kantor kita?"

Wajah Martin memerah, dia terlihat gugup. "Kamu nggak malas apa pindah-pindah? Bagaimana nanti kalau kita langsung punya anak? Udara rumah pasti lebih sehat daripada apartemen. Lagian kita bisa menginap di rumah orang tuaku kalau pulang kemalaman."

Aku hanya mengangguk, alasannya masuk akal. Tapi kenapa dia terkesan tidak ingin menyinggung tentang apartemen, ya? Ada sedikit perubahan dalam diri Martin yang akhirnya kusadari. Dia sama sekali tidak bersemangat menjelang pernikahan. Tante Agatha justru terlihat lebih bersemangat. Pernah aku mengeluh pada salah seorang tante, adik mama. Tapi jawabannya mungkin karena Martin ada masalah dengan pekerjaannya. Lagipula laki-laki memang cenderung cuek terhadap pernak pernik pernikahan yang ribet. Mau tidak mau aku mengakui alasan tersebut.

Hingga kemudian, pada suatu malam aku baru selesai mengunjungi pesta salah seorang supplier kami yang mengadakan pesta. Kebetulan gedungnya terletak di seberang apartemen Martin. Iseng aku ingin mampir karena jam juga sudah menunjukkan pukul delapan malam. Kupikir tidak ada salahnya menghabiska satu atau dua jam. Toh, selama ini Martin selalu sopan jadi aku tidak merasa takut. Tangannya tidak pernah grepe-grepe seperti kekasih teman-temanku yang lain.

Saat memasuki area parkir kulihat ia baru ke luar dari mobil.

"Martin," panggilku.

Wajahnya terkejut melihat kedatanganku—tidak—bukan, lebih kepada tidak suka.

"Ngapain kamu malam-malam begini datang?"

Aku sedikit terkejut dengan tanggapannya. Tapi mau tidak mau tetap harus menjawab.

"Aku baru dari gedung di seberang sana jadi mau sekalian mampir."

"Kenapa nggak telepon dulu?" tanyanya sedikit panik.

"Penting banget gitu? Kita sudah mau menikah lalu aku harus minta ijin dulu? Memangnya ada apa di apartemen kamu?"

"Tidak ada apa-apa."

Aku curiga seketika meski pada akhirnya suaranya terdengar pelan. Apa di sana dia menyimpan perempuan? Segera kutepis pikiran buruk itu.

"Aku cuma mau mampir kalau kamu tidak suka aku akan pulang." jawabku sambil membalikkan badan. Namun tangan besar Martin segera menarik lenganku.

"Maaf, aku hanya kaget kalau mau naik ayolah."

"Nggak usah, aku sudah nggak kepingin." Tolakku sambil berjalan ke arah mobil.

"Jangan begitu, ayolah kalau mau naik."

"Ada siapa di atas?"

"Andre paling, karena tadi katanya mau nginap di tempatku."

DANDELION (Bukan) CINTA SEMPURNA/ OPEN PO/Dihapus SebagianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang