Tak terasa sudah tiga bulan aku bekerja. Sejauh ini tidak ada masalah. Meski masih sedikit kaget dengan emosi Pak Theo yang sedikit membingungkan. Seperti perempuan PMS kadang. Tapi kalau dia tidak ada, suasana kantor langsung sepi. Kudengar dia adalah salah satu keponakan bos besar. Sehingga bisa duduk pada posisi sekarang. Aku juga semakin mengenal karyawan lain diluar divisi. Kami sering bertemu saat rapat, atau makan siang. Dari semua yang ada, aku sedikit tertarik pada Pak Martin. Orangnya kalem. Tubuhnya tinggi dan yang pasti tampan. Senang dengan caranya berbicara. Terlihat sangat cerdas.
Hingga pada suatu hari, sebelum makan siang. Sebuah pesan memasuki ponselku. Dari Pak Martin, Manajer Keuangan. Kali ini bukan lagi tentang pekerjaan. Karena dia mengirimkan pesan pribadi.
Makan siang di mana, Ande?
Jelas aku kaget mendapat pertanyaan seperti itu. Bingung lebih tepatnya.
Di warung padang sebelah, Pak. Kenapa?
Mau bareng saya?
Nggak enak sama yang lain.
Aku memang selalu menolak dengan tegas siapapun yang mengajak makan berdua saja. Malas jika pekerjaan terganggu. Apalagi di kantor ada aturan, tidak boleh menikah sesama karyawan. Lebih baik cari orang luar, pikirku. Aku masih membutuhkan pekerjaan ini.
Bagaimana kalau besok malam? Kita ke luar untuk ngobrol saja.
Ada yang penting, Pak?
Tidak, kebetulan saya ada waktu kosong. Setelah kemarin sibuk sekali. Kepingin punya teman ngobrol. Saya yang akan reservasi tempatnya.
Ok, sampai ketemu besok malam. Tapi bawa kendaraan masing-masing, ya, pak.
Sip, terima kasih.
Kembali kuletakkan ponsel. Tak terasa sudah waktunya makan siang. Aku dan Stella kali ini berjanji pesan saja. Karena harus mengerjakan beberapa PO yang belum selesai. Kami tidak mungkin lembur karena harus kuliah nanti malam.
"Nde, kamu tahu Pak Martin?"
"Ya, yang ManajerKeuangan, bukan?"
Siapa lagi, memangnya ada berapa Martin di sini.
"Aku baru dengar gosip tentang dia." Bisik Stella.
Kuhentikan jemari yang masih menekan tuts keyboard.
"Memangnya dia kenapa?"
"Gay. G-a-y." Stella memperjelas. Seluruh tubuhku serasa tersiram air es.
"Gosip dari mana?"
"Ada temen gue yang kenal dia. Katanya mereka berapa kali ketemu di klub khusus gay gitu."
"Buat gue dia biasa aja." Aku mencoba menyangkal.
"Gue juga awalnya nggak percaya. Tapi teman gue sering lihat dia di sana. Terus nanya kabarnya gitu."
"Tapi tampilannya nggak gitu, deh." Tepisku.
"Bagian dalamnya siapa yang tahu? Gimana kalau onderdilnya nggak berdiri lihat perempuan kayak kita."
Aku hanya mengangguk pelan. Sedikit bergidik sebenarnya. Masak sih Pak Martin Gay? Terus kalau memang benar, untuk apa menghubungiku? Bukankah pria seperti itu menghindari perempuan? Salahkanlah aku yang tidak pernah pacaran. Sehingga diajak makan saja rasanya jantungku sudah bersalto jumpalitan.
***
"Hai, senang melihat kamu datang." Sapa Pak Martin ramah saat kami bertemu.
"Sama-sama, Pak."
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION (Bukan) CINTA SEMPURNA/ OPEN PO/Dihapus Sebagian
RomanceBagi Dandelion, hidupnya tak pernah jauh dari filosofi namanya. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Beradaptasi lalu pindah lagi. Hingga suatu saat, ia memiliki harapan baru. Bahwa perjalanannya akan berhenti disisi pria bernama Martin. Dande...