22

7K 1.9K 258
                                    

Kumasuki mobil dengan kesal. Segera kuarahkan untuk pulang ke rumah. Tidak lupa kembali mematikan ponsel. Malas bila harus berbicara dengan siapapun. Inilah salah satu hal yang membuatku tidak suka menjalin hubungan cinta. Karena dengan mudah orang lain mengaduk-aduk perasaanku. Dan itu nggak enak banget. Apa aku salah dan terlalu keras kepala? Bisa jadi, karena memang begitu banyak ketakutan yang ada dalam benakku. Sesampai di rumah papa ternyata masih bangun. Setelah menyapa aku langsung masuk kamar dan mandi.

Tapi meski sudah mencari pewe hampir setengah jam tetap saja tidak bisa tidur. Aku terlanjur kesal pada Richard. Apa dia marah? Tapi tadi aku memang sedang banyak pekerjaan. Masak sih, dia tidak mau mengerti? Akhirnya karena kesal, kukirim pesan. Terserah mau dibaca atau tidak.

Aku telepon kamu nggak aktif. Giliran ke nomor lain kamu reject.

Sengaja aku tidak menambahkan kalimat lain. Pesanku masuk tapi tidak dibalas. Kutunggu sampai sepuluh menit, tapi tidak ada respon sama sekali. Fix, dia marah padaku karena saat kulihat dia sedang online. Baiklah mulai sekarang aku berhenti mengharapkannya. Kembali kumatikan ponsel lalu ke luar. Ternyata papa sedang duduk termenung di meja makan bersama setumpuk undangan.

"Papa ngapain?"

"Mau nulis undangan. Tapi akhirnya bingung sendiri mau mulai dari mana."

Kuraih undangan berwarna abu bercampur tinta emas tersebut. Cantik, sederhana tapi berkelas. Pasti pilihan Tante Mawar.

"Kenapa papa nggak buat daftarnya dulu?"

"Iya sih, tapi bingung siapa yang diundang dan tidak, menurut kamu?"

"Dimulai dari keluarga terdekat saja, baru teman kantor dan tetangga."

"Iya juga, papa tidak kepikiran."

Segera kuambil buku agenda kemudian kami mulai menulis. Mengingat satu persatu kerabat terdekat beserta anak-anak mereka. Papa juga memutuskan mengundang keluarga mama. Hampir jam dua belas malam baru selesai. Padahal undangan hanya seratus orang karena memang cuma syukuran.

"Teman kantor kamu?"

"Palingan Pak Harry doang." Segera kuambil dua undangan. Untuk jaga-jaga mengundang Richard meski sebenarnya malas.

"Terima kasih, Nde."

"Sama-sama pa."

"Waktu papa menikah dengan mamamu, eyangmu yang sibuk. Papa dan mama tinggal duduk di pelaminan. Waktu kamu, semua sudah diurus WO dan mertuamu. Papa tinggal ikut saja karena undangan kalian tidak terbatas. Seperti ini ternyata repotnya."

"Nggak apa-apa pa. Kita jadi punya pengalaman."

"Iya, sih. Kamu nggak punya teman dekat gitu sekarang?"

Aku menggeleng. "Belum ketemu yang cocok pa."

"Sabar saja, akan ketemu pada waktunya."

Aku mengangguk lagi. Akhirnya kami masuk ke kamar masing masing. Kali ini mataku sudah mengantuk.

***

Aku masih berkutat dengan laporan mingguan saat Pak Harry muncul di ruangan.

"Nde, pesta papa kamu sampai jam berapa?"

"Sampai malam pak, acaranya di rumah. Lagian syukuran saja sebenarnya."

"Kalau begitu saya datangnya sore saja ya,"

"Boleh pak."

"Kamu nggak undang Rich?"

"Saya sudah kirim undangan."

DANDELION (Bukan) CINTA SEMPURNA/ OPEN PO/Dihapus SebagianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang