Pak Richard sudah duduk di hadapanku menikmati mie pangsit goreng yang aroma bawang putih dan minyak wijennya membuat perutku benar-benar lapar.
"Enak banget." Itu adalah komentar pertamaku.
"Saya bisa makan dua porsi kalau di sini. Saya suka makan mie. Kamu?"
"Suka semua pak."
Kutatap dia yang terlihat sangat menikmati makanannya. Diluar sikap kerasnya, Pak Richard sebenarnya adalah tipe pemikir. Jadi kesannya serius. Apalagi kalau pakai kacamata seperti sekarang. Dari obrolan kami tadi aku tahu kalau dia sudah plus dua. Jadi tidak bisa membaca tanpa kacamata.
"Kamu kenapa ngeliatin saya kayak begitu?"
"Bingung aja sama tato naga bapak. Bapak kan, kalem banget tampilannya kok, bisa kepikiran buat tato?"
Dia tertawa kecil matanya menerawang. " Pertama-tama ini bukan naga tetapi Ryu dalam tokoh mitologi Jepang. Anak saya suka Ryu. Ada sedikit perbedaan antara naga di China dan Jepang, karena negara tersebut adalah kepulauan maka Naga digambarkan sebagai ular laut yang memiliki tiga jari disetiap tangannya. Hewan ini dipandang sebagai sosok dermawan dan pelindung umat manusia. Hampir setiap hari kami menggambar dan mewarnai Ryu, menonton film tentang naga. Saat dia meninggal saya ingin memiliki momen dimana akan tetap mengingat apa yang dia sukai sepanjang hidup. Saya tidak suka tato yang terlihat oleh orang lain makanya buat di bagian dalam."
"Ada rencana nambah tato?"
"Ada sih."
"Gambar apa?"
"Dandelion.
Hups! Aku tersedak. Wajahnya masih terlihat datar meski menahan senyum saat menatapku. Dia kembali menyuap mie dari piring kedua. Tangan kirinya menyerahkan minuman jeruk nipis padaku.
"Nggak ada gambar lain?"
"Saya hanya akan membuat sesuatu yang yakin untuk dilakukan dan benar-benar saya sukai."
Kuembukan nafas, mulai susah, nih. Semua pertanyaan akan kembali padaku.
"Kamu beneran nggak paham atau pura-pura nggak paham apa yang saya maksud?"
"Nggak paham."
"Atau trauma?"
"Tentang?"
"Mantan misal?"
"Sejauh apa bapak tahu?"
"Kulitnya aja sih,"
"Terlepas dari itu, dia orang yang baik."
"Kamu masih membelanya. Sebesar apa kesempatan saya."
"Bapak ngegas."
"Saya butuh kepastian."
"Saya sudah bilang belum ingin pacaran dan menikah."
"Saya bisa meyakinkan kalau keduanya bukan pilihan yang buruk."
"Saya takut sakit."
"Kamu pikir saya tidak? Diselingkuhin itu sakit lho. Apalagi saat itu anak saya lebih sering terbaring di rumah sakit daripada di rumah. Saya jaga dari pagi sampai malam, istri saya malah pacaran dengan sahabat saya. Disaat yang sama hati saya dipatahkan oleh tiga orang. Anak, istri dan sahabat sekaligus."
"Lalu kenapa saya?"
"Cinta tidak selalu butuh alasan Ande."
"Bapak sok puitis, padahal nggak romantis."
"Kamu akan tahu kebenarannya kalau memberi saya kesempatan."
Aku tertawa pembicaraan kami benar-benar aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION (Bukan) CINTA SEMPURNA/ OPEN PO/Dihapus Sebagian
RomanceBagi Dandelion, hidupnya tak pernah jauh dari filosofi namanya. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Beradaptasi lalu pindah lagi. Hingga suatu saat, ia memiliki harapan baru. Bahwa perjalanannya akan berhenti disisi pria bernama Martin. Dande...