Aku masih harus menunggu Pak Richard sekitar lima belas menit di area parkir. Dia terkejut melihat penampilanku.
"Dari mana kamu pakai kebaya?"
"Acara lamaran papa." Belum apa-apa kini aku sudah menangis. Dia memelukku dan langsung mengeluarkan sapu tangan.
"Kita bicara di atas."
Kuhapus air mata yang masih menggenang, nggak enak nanti kalau dilihat orang. Dikira kami ada masalah. Dia menggenggam erat tanganku. Cukup lama berada di dalam lift sampai kemudian tiba di lantai teratas. Kami masuk, namun tidak ada siapapun di sini.
"Kamu kenapa?" tanyanya saat kami sudah duduk di sofa.
"Papa akhirnya menikah lagi setelah hidup sendiri selama hampir dua puluh tahun. Saya merasa sedih karena kehilangan. Apakah ini normal?"
Richard menatapku
"Kalau dari sisi kami laki-laki yang dia lakukan itu normal. Tapi kalau dari sisi kamu, mungkin sedikit berbeda. Tapi jangan mikir terlalu jauh, deh. Papa kamu masih hidup, kan? Apa kalian masih akan tinggal bersama?"
"Sebelum mereka menikah."
"Kita tidak selamanya memiliki orang tua. Mau sekarang ataupun nanti. Apakah dia meminta ijin sama kamu?"
"Ya, dan saya mengijinkan."
"Artinya dia masih menghormati kamu. Merasa sendirian sekarang?"
Aku mengangguk lalu berdiri menatap Jakarta yang penuh lampu dibawah sana.
"Saya cengeng, tidak sekuat yang saya kira."
"Menangis saja. Karena kalau kamu menangis di depan papamu bisa berbeda masalahnya."
"Kenapa?"
"Entahlah, papi saya adalah orang yang sangat dekat dengan anak perempuannya. Kami yang laki-laki jarang ditanya kalau pulang kantor. Tapi yang perempuan, pergi sebentar saja sudah ditanya pada supir dan asisten pribadi mereka. Kalian pasti memiliki kedekatan sendiri seperti pada kekasih pertama. Dia pasti merasa bersalah nanti."
"Hubungan kami tidak sebaik itu. Tapi kami tetap ayah dan anak."
"Atau karena kamu merasa mengkhianati mamamu?"
Kutatap dia yang tengah membuka botol air mineral berwarna hijau lalu menyerahkan padaku.
"Nggak tahu."
Kini kami sama-sama menatap pada kejauhan.
"Sendiri kadang memang tidak enak. Walau mungkin komunikasi tidak bagus, tapi rasa aman saat masih ada orang di dekat kita memberikan sesuatu yang berbeda." ucapnya sambil duduk dibahu kursi.
"Saya harus kembali siap untuk sendirian. Mungkin bapak benar, saya jarang berbicara dengan papa. Tapi saat menyadari dia akan pergi saya merasa ditinggalkan."
"Dan rasa itu selalu dialami oleh orang dewasa. Saat masih kecil kita bisa play date, bermain seharian dengan teman. Tapi sekarang, semua terasa sulit."
Aku mengangguk. "Terima kasih pak, sudah mau mendengarkan saya."
"Memangnya saya bapak kamu?" liriknya sambil menyipitkan mata. Ada nada tak suka di sana.
"Saya takut kebablasan kalau ada pertemuan bisnis."
"Belum tentu sebulan sekali kita bertemu dalam pekerjaan. Lebih sering seperti ini, kan?"
Aku menunduk, kembali meminum air mineral.
"Tadinya saya sudah mau marah lihat kebaya kamu."
Kulihat tubuhku, apa ada yang aneh? Rasanya tidak! "Perasaan biasa aja, pak."
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION (Bukan) CINTA SEMPURNA/ OPEN PO/Dihapus Sebagian
RomanceBagi Dandelion, hidupnya tak pernah jauh dari filosofi namanya. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Beradaptasi lalu pindah lagi. Hingga suatu saat, ia memiliki harapan baru. Bahwa perjalanannya akan berhenti disisi pria bernama Martin. Dande...