Menghabisan cuti menikah malah membuatku semakin pusing. Setiap malam bertemu Martin yang memasang wajah penuh rasa bersalah. Kadang aku ingin luluh dan merasa ini saat untuk kami memulai kehidupan baru. Tapi Sebagian hati kecilku berkata agar bertahan saja dulu. Akan kulihat sejauh mana dia bisa tidak berhubungan dengan Andre. Jujur aku takut memberikan kepercayaan penuh karena hati kecilku mengatakan kalau dia tidak jujur dengan sikapnya. Meski begitu aku tetap mengerjakan tugas sebagai seorang istri. Setidaknya menjaga kemungkinan, jika kelak hubungan kami berhasil, aku tidak perlu malu-malu amat.
Pagi ini kulangkahkan kaki memasuki kantor. Masa cutiku sudah habis. Seluruh teman yang berpapasan segera menggoda dengan berbagai candaan. Termasuk Stella yang berulang kali bertanya 'gimana rasanya?'. Aku hanya tersenyum, mau menjawab apalagi? Selama tiga hari ini aku merenung di rumah. Bersikap sebagai orang yang kalah sama sekali tidak nyaman. Jangan sampai mereka tahu keadaan sebenarnya bahwa Martin sama sekali tidak melirik.
Aku menuju kubikel sambil berharap banyak pekerjaan menanti. Dan benar saja, ada tumpukan nota PO yang belum diselesaikan. Segera kumulai pekerjaan yang sebenarnya sama sekali tidak kurindukan. Berada diambang batas keraguan antara lanjut atau berhenti sangat tidak enak. Beberapa teman tak lagi menggoda saat tahu aku sudah mulai memeriksa barang-barang yang harus kami pesan.
Pukul sepuluh pagi ponselku bergetar, dari Tante Agatha. Aku masih malas menjawab. Namun jelas itu mengganggu konsentrasi hingga akhirnya kuangkat.
"Ya, Tan."
"Kok masih panggil tante? Panggil mama dong, sama seperti Martin."
"Iya ma, ada apa?" Aku mencoba untuk tetap bersikap ramah meski hatiku berontak.
"Kamu sudah mulai masuk kantor ya, apa kamu sibuk?"
Aku memijat bahu sendiri "Sudah ma. Aku ada janji dengan atasan mau ke undangan salah seorang supplier."
"Sayang sekali padahal mama mau kita makan bertiga dengan Marja. Dia akan kembali ke SG. Atau kamu kepingin sesuatu? Supaya mama kirimkan nanti."
"Nggak usah, lagian hari ini aku akan kerja sampai malam. Menyelesaikan beberapa tugas yang seminggu ini terbengkalai."
"Ya sudah kalau begitu. Kamu jaga kesehatan, ya. Kalau butuh sesuatu hubungi mama saja." Ada nada kecewa dalam suara Tante Agatha.
"Iya, ma. Jaga kesehatan juga dan salam buat Marja."
Selesai berbicara rasanya aku ingin menangis. begitu besar harapanku tentang pernikahan ini. Tapi rasanya itu semua cuma mimpi yang takkan pernah tercapai.
***
Kubuka pintu rumah yang masih gelap padahal sudah jam sembilan malam. Kunyalakan lampu lalu kembali mengunci. Martin belum pulang, entah di mana dia berada. Kutatap wajah yang ada di depan cermin di ruang tamu. Tidak ada sinar kebahagiaan di sana. Aku bahkan terlihat terlalu lelah untuk sekadar tersenyum seperti biasa.
Pelan kulangkahkan kaki ke kamar. Melepas baju dan seluruh pakaian. Berdiri tanpa mengenakan apapun di sebuah cermin setinggi tubuh. Dulu aku begitu memimpikan pernikahan ini. Sama seperti perempuan lain yang akan menikah. Membayangkan malam-malam kami penuh cinta. Berbincang di atas ranjang sambil berpelukan. Merasakan hangat tubuhnya ketika udara dingin.
Dulu aku berharap bahwa sikap sopan Martin hanya sampai kami pacaran. Begitu menikah ia akan berubah menjadi suami sesungguhnya. Tapi apa yang terjadi selama tiga malam ini? Jangankan memeluk, menyentuhkupun tidak. Kami tidur saling memunggungi, bahkan tadi malam saat pagi kulihat dia pindah ke kamar tamu. Lalu apa fungsiku? Kutatap buah dada yang ranum, pinggulku yang melebar dan bokongku yang bulat sempurna. Laki-laki mana yang tidak tergiur? Jawabannya jelas, suamiku!
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION (Bukan) CINTA SEMPURNA/ OPEN PO/Dihapus Sebagian
RomanceBagi Dandelion, hidupnya tak pernah jauh dari filosofi namanya. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Beradaptasi lalu pindah lagi. Hingga suatu saat, ia memiliki harapan baru. Bahwa perjalanannya akan berhenti disisi pria bernama Martin. Dande...