5

4.8K 1.5K 141
                                    

Papa menghampiri saat aku duduk termenung di teras belakang menjelang tiga hari pernikahan.

"Kok calon pengantin bengong?"

Aku sebenarnya tengah menimbang apakah akan bercerita atau tidak tentang kecurigaanku terhadap Martin. Tapi apa masih ada waktu? Waktuku tidak banyak, lalu bagaimana dengan keluarga besar yang sudah siap sedia selama beberapa bulan terakhir? Aku adalah anak papa dan mama satu-satunya, tidak ada lagi yang dipestakan.

"Kamu ada masalah?" Ini pertama kali papa bertanya tentang masalahku. Aku menggeleng pelan.

"Sebentar lagi kamu tidak akan tinggal di sini. Papa akan kesepian."

Kenapa papa jadi terkesan mau curhat? Padahal kepalaku yang pusing memikirkan kemungkinan tiga hari ke depan.

"Kok bisa?" hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.

"Kita jarang bersama, sekalinya tinggal bareng kamu sibuk kuliah, kerja, lalu sambil kuliah sambil kerja juga. Sementara papa sibuk di kantor dan kita jarang ketemu. Begitu ada waktu papa sudah mau pensiun, kamu menikah."

"Papa menyesal?"

"Ya, atas waktu yang papa buang percuma."

Kuembuskan nafas keras, untuk pertama kali kami mungkin akan bicara dari hati ke hati.

"Waktu papa akan menikahi mama, bagaimana perasaan papa saat itu? Kalian masih sangat muda dan kudengar papa baru mulai bekerja."

"Takut!"

"Kok bisa?" aku mulai penasaran.

"Ya, mamamu hamil, dan sebagai laki-laki papa harus bertanggung jawab. Orang diluar sana selalu berteriak bahwa kami kaum laki-laki bertanggung jawab atas banyak hal terdalam rumah tangga terutama uang. Banyak pertanyaan dalam diri papa, apakah akan sanggup membiayai sebuah keluarga? Apalagi akan ada anak yang lahir. Sementara saat itu untuk diri sendiri saja sangat pas-pasan"

"Apa papa pernah ingin menghindar dari pernikahan?"

"Tidak, papa tidak ingin membebani mamamu dengan rasa malu. Saat itu dia sedang hamil kamu."

"Papa menyesal?"

"Sebagian ya, karena pernikahan membuat papa kehilangan kebebasan. Tapi apa yang kami lakukan menunjukkan bahwa papa sudah salah dalam menggunakan hal itu."

"Bagaimana dengan tahun-tahun pertama pernikahan."

"Khawatir tidak bisa membahagiakan mamamu, takut tidak bisa membiayai rumah tangga, bagaimana supaya bisa kasih uang lebih buat mamamu untuk sekadar pergi ke salon dan menikmati hidup. Karena saat itu papa masih membangun karir. Kebutuhanmu cukup banyak karena mamamu punya standar sendiri dalam membesarkan anak."

Sesuatu yang menarik karena aku baru tahu sekarang. Teringat akan beberapa les yang harus kuikuti dulu.

"Apa papa pernah merasa putus asa?"

"Pernah, saat posisi di kantor tidak aman karena ada karyawan lain yang merupakan keluarga atasan. Saat itu karir papa harus berjalan ditempat karena tidak dilirik untuk promosi. Saat bawa gaji polosan pulang tanpa tambahan apa-apa. Saat melihat wajah mamamu sedih karena harus mengatur uang belanja yang kurang. Apalagi jika ada pertemuan antar keluarga, saat para ipar yang karier dan bisnisnya melaju pesat. Akhirnya papa hanya bermain game dengan sepupumu. Menemani mereka adalah satu-satunya alasan untuk menghindar dari pembicaraan tidak penting yang akan membuat ego papa tersentil. Itu adalah beban bagi seorang laki-laki."

"Maaf, selama ini aku salah menilai papa."

"Papa yang salah karena tidak mendekatkan diri padamu. Terlalu sibuk dengan pemikiran sendiri."

DANDELION (Bukan) CINTA SEMPURNA/ OPEN PO/Dihapus SebagianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang