24

6.9K 1.9K 197
                                    

Aku menatap ke arah lain. Yakin sebentar lagi ruangan akan semakin panas. Tahu bagaimana Richard kalau sedang marah dia tidak akan peduli pada siapapun. Jangan sampai keluarga mereka ribut karena aku di acara Pak Harry. Akan sangat memalukan.

"Kamu ngapain di sini?" Teriaknya. Dalam hati aku berharap agar suara musik di luar sana tidak membuat orang lain mendengar apa yang terjadi di sini.

Segera kutarik tangannya ke luar namun dia malah sengaja menahan. Mata tajamnya menatap lembar cek yang ada diatas meja. Perlahan kakinya melangkah menuju adiknya, Rania seolah menahan nafas.

"Ini apa?" tanyanya sambil meraih cek yang terletak di atas meja.

"Bukan apa-apa. Tante Angela segera menarik kertas tersebut. Sayang akhirnya malah terkoyak menjadi dua.

"Ko, kita ke luar saja." Aku bahkan sampai memohon karena melihat suasana di dalam memanas.

"Aku pernah membiarkan kalian menghancurkan hidupku sekali. Tapi sekarang tidak lagi, jangan pernah menyentuh Dandelion. Sama seperti aku tidak pernah menyentuh urusan pribadi kalian." Ancamnya.

Tubuh Tante Angela bergetar, dia terlihat sangat marah. "Kamu mau melakukan apa? Mempermalukan keluarga? Kamu pikirkan bagaimana kakek dan papimu berusaha mempertahankan bisnis ini? Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan sekarang."

"Aku tahu, karena itu meminta kalian untuk tidak ikut campur."

Richard kini menarik tanganku ke luar. Beruntung masih sangat ramai. Bahkan kini beberapa pasangan sudah turun di dance floor.

"Kita pamit dulu." bisikku.

"Tidak usah."

"Setidaknya Pak Harry, dia adalah atasanku."

Richard melepaskan genggamannya. Aku segera menuju ke arah Pak Harry yang sedang bersama beberapa rekan bisnisnya lalu pamit. Dari jauh bisa kulihat Bu Fanny menatap tak suka. Mungkin dia ada dibalik ini semua tapi aku memilih tak peduli. Sesampai di luar aku hanya mengikuti langkahnya. Mobilnya terparkir tak jauh dari pintu utama, sebuah Maserati ternyata. Kami segera masuk.

"Papa kamu menginap di mana malam ini?"

"Di tempat ibu."

"Kamu menginap bareng saya di PIK."

Kuembuskan nafas kasar, rasanya ingin menolak tapi melihat dia yang sedang marah kupikir akan membicarakan nanti. Akhirnya aku mengalah. "Terserah, aku ikut kamu aja."

Kami memasuki kediamannya. Ada empat buah mobil mewah digarasi termasuk yang dipakainya barusan. Dia menarik tanganku masuk. Seorang asisten rumah tangga berseragam membukakan pintu untuk kami. Aku mencoba memberi senyum, dia membalas ramah. Melintasi tangga menuju lantai dua yang melingkar dan lebar aku sadar betapa maskulin tempat ini. Semua tertata rapi termasuk beberapa lukisan besar. Akhirnya kami tiba di sebuah pintu. Richard membuka kemudian menyalakan lampu. Ternyata sebuah bioskop mini yang sepertinya bisa juga dijadikan ruang karaoke.

Aku duduk di salah satu kursi berwarna merah. Saat tangannya meraih sebotol minuman aku hanya bisa diam. Beruntung kembali dia meletakkan kemudian duduk di sampingku. Meraih tanganku lalu diletakkan diatas pahanya.

"Kamu nggak nyaman dengan pakaian seperti ini? Mau ganti pakaian dulu?" tanyaku. Dia masih mengenakan tuxedo lengkap.

Dia menggeleng. "Tadi mereka bilang apa?"

"Nggak ada."

"Meminta kamu menjauhiku?"

"Kamu sudah tahu?"

"Sudah pasti, aku tahu bagaimana mereka dan ini pasti berlanjut. Mami melakukan apapun agar keinginannya tercapai. Aku akan melindungi kamu."

"Koko sudah tahu sejak lama?"

DANDELION (Bukan) CINTA SEMPURNA/ OPEN PO/Dihapus SebagianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang