Pulang kantor aku langsung ke rumah papa. Mencoba tidak peduli pada apa yang nanti orang lain pikirkan tentangku. Meski ada rasa malu mengingat hubungan buruk kami selama ini. Tapi tidak ada tempat lain. Baru teringat sebenarnya aku memiliki uang sendiri. Warisan dari mama yang kudapat saat penjualan rumah eyang belum disentuh sampai sekarang. Nantilah kalau papa menolak kehadiranku, akan kugunakan uang itu untuk kost. Saat turun dari mobil aku tidak membawa koper karena masih mau melihat situasi dulu. Papa yang juga baru pulang kantor terlihat kaget namun tetap menyambut dengan senyum lebar.
"Ande? Sendirian?"
"Papa kok, kayak kaget begitu?"
"Nggak nyangka kamu akan datang secepat ini."
Kucium pipinya, dia membalas dengan menepuk bahuku.
"Mandi dulu, kamu akan menginap?"
"Ya, capek sekali kalau harus pulang ke BSD."
"Nggak apa-apa, tinggal di sini sebenarnya lebih baik rumah kalian jauh sekali. Habis waktu di jalan, bayar bensin dan tol. Kalau mau, Weekend saja kalian ke sana. Toh, papa juga jarang di rumah."
Aku hanya tersenyum.
"Martin mana?"
"Masih di kantor jam segini."
"Kamu mau makan apa? Mbak Warti nggak masak, ijin hari ini."
"Terserah papa."
Papa segera menghubungi resto terdekat. Aku ke kamar untuk mandi. Rasanya nyaman sekali berbeda dengan saat di hotel. Waktu seminggu tidak terasa. Terbayang dua malam tidur di kamar sempit dan bawa koper kemana-mana. Selesai berpakaian aku ke teras belakang. Bunga-bunga yang kutanam masih subur. Kini aku mempertimbangkan untuk mengatakan masalahku pada papa.
Sebelum makan malam sebuah pesan dari Martin memasuki ponselku.
Kamu di mana? Aku sudah di depan kantor kamu.
Di rumah papa.
Kenapa nggak pulang?
Tanganku erat menggenggam ponsel. Harus bilang apa? Kupejamkan mata, dan akhirnya setelah merasa lebih baik kubalas pesannya.
Aku bukan hanya ingin instropeksi diri. Tapi ada beberapa hal yang harus kupikirkan ulang. Tidak ingin masalah ini semakin besar nantinya. Karena bukan hanya tentang kita, tapi juga Andre. Aku tidak mau ada pertengkaran atau keributan lain. Kamu pasti paham apa yang menjadi pemikiranku.
Lama kutunggu, tak ada balasan. Hingga akhirnya kupikir Martin juga sedang berada dalam tahap yang harus kulalui. Mencoba berdamai dengan keadaan. Setelah dewasa kini aku tahu bahwa permasalahan hidup tidak ada habisnya. Apalagi setelah menikah. Atau hanya pernikahanku saja? Mungkin orang di luar sana seminggu setelah menikah masih bulan madu.
"Ande, makan yuk."
Suara papa menyentak lamunanku. Kami beriringan menuju meja makan.
"Martin biasa pulang jam berapa?"
"Sekitar jam sepuluh sampai rumah."
Papa hanya mengangguk kemudian melanjutkan makannya. Tapi kurasa dia sudah mulai curiga. Selesai makan, saat mencuci piring barulah papa bertanya.
"Kalian sedang ada masalah?"
Papa tahu dari mana? Apa Martin memberi tahu? Meski ragu akhirnya aku mengangguk. Rasanya malu sekali jika menjawab ya. Merasa kalah dengan kesombonganku selama ini.
"Dua malam lalu, beberapa kali mobil Martin lewat di depan rumah. Papa kebetulan lihat dari CCTV. Kamu di mana?"
Aku kaget, ternyata papa tahu tanpa harus kuceritakan. Segera kuembuskan nafas kasar. Apa yang harus kukatakan? Aku memilih jujur akhirnya, karena memang itulah tujuanku kemari.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION (Bukan) CINTA SEMPURNA/ OPEN PO/Dihapus Sebagian
RomanceBagi Dandelion, hidupnya tak pernah jauh dari filosofi namanya. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Beradaptasi lalu pindah lagi. Hingga suatu saat, ia memiliki harapan baru. Bahwa perjalanannya akan berhenti disisi pria bernama Martin. Dande...