7

5K 1.6K 160
                                    

Aku berusaha untuk bersikap tenang di sepanjang perjalanan. Meski hatiku hancur mengingat sikap Martin tadi. Ini pertama kali dia bertindak kasar, tapi tidak menutup kemungkinan untuk melakukan hal tersebut lagi dan lagi. Meski suasana hati sedang buruk, aku tetap berusaha untuk tiba di kantor tepat waktu. Aku tetap butuh uang meski akhir-akhir ini mulai berpikir untuk resign dan mencaripekerjaan baru. Aku benar-benar lelah menjalani semua. Ini adalah akibat dari keputusanku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi?

Sepanjang hari pekerjaanku selesai dengan baik. Rasanya kantor memang benar-benar menjadi tempat yang tepat untuk sejenak lari dari kenyataan. Begitu jam kantor selesai, otakku kembali berputar, akan ke mana setelah ini? Pulang ke rumah papa? Apa kata tetangga! Baru juga berapa hari menikah. Mencari kost? Gajiku tidak cukup untuk membayar yang cukup mahal. Di mana keamanan penghuni dijamin oleh cukup banyaknya security. Masih takut kalau Martin berbuat nekat.

Sudah hampir dua jam berputar tak tentu arah. Tidak mungkin semalaman aku berada di jalan raya. Selain tubuh lengket karena belum mandi aku juga butuh istirahat. Akhirnya aku memasuki hotel ber-budget murah. Lumayanlah hanya seratus lima puluh ribu permalam. Kamarnya sangat kecil dan hanya berkipas angin. Dengan uang pas-pasan tidak ada pilihan lain. Selesai mandi aku berbaring. Apa yang harus kulakukan besok? Apakah Martin sudah tahu kepergianku? Sebentar lagi dia pasti sudah tiba di rumah. Segera kumatikan ponsel tidak ingin terganggu dengan dering telepon bertubi-tubi.

Atau aku saja yang ke-geer-an? Jangan-jangan sebenarnya dia malah senang dengan ketidakhadiranku. Pusing, akhirnya kupejamkan mata, meski yakin tidak akan bisa tidur semudah harapanku.

***

Pagi hari aku bangun. Kaget karena berada di ruang asing. Kucoba mengumpulkan kesadaran. Di mana aku sekarang? Baru teringat, aku menginap di hotel semalam. Untuk mengumpulkan energi aku duduk, udara terasa panas. Tapi jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Bergegas aku mandi, karena harus mencari sarapan sebelum sampai di kantor.

Check out pukul tujuh pagi, beruntung di samping hotel ada penjual nasi uduk. Kupesan sepiring dengan lauk telur dan segelas teh manis. Selesai sarapan baru aku menuju kantor. Sayang, di depan gerbang, Martin sudah berdiri di samping mobilnya. Sepertinya belum mandi, dan masih mengenakan pakaian semalam. Kulewati mobilnya dan langsung masuk ke area parkir. Dari kaca spion aku tahu dia menyusul, aku bersiap sekarang. Setidaknya ada beberapa orang di sekitarku, dia tidak mungkin membuka topengnya di hadapan banyak orang.

"Kamu dari mana?" suaranya terdengar pelan dan putus asa.

"Dari rumah papa."

"Bohong, mobil kamu tidak ada di sana semalam. Aku lewat dari sana mobil kamu tidak ada. Ponsel kamu juga tidak aktif. Kamu masih istriku, jadi wajar kalau aku harus tahu kamu di mana."

"Menginap di hotel."

"Pulanglah ke rumah, aku janji kejadian kemarin tidak akan terulang lagi."

Aku berusaha sekuat tenaga untuk diam.

"Nde, beri aku waktu untuk bisa memenuhi janjiku. Tolong jangan tekan aku terus. Aku tahu kamu kecewa, tapi aku juga sedang berusaha. Aku salah sudah mengatakan hal bodoh tentang hubunganku dengan Andre."

"Pada akhirnya kamu mengakui. Kita tidak mungkin begini terus, aku menunggu sementara kamu masih mencintai orang lain. Aku bukan anti terhadap kaum kalian. Tapi bukan berarti harus memahami dan menunggu terus menerus. Kamu punya waktu untuk berubah sepanjang hubungan kita. Di mana kamu selama ini? Kamu tahu apa yang terjadi padaku sejak dulu, kan? Kemarin aku merasa bahwa kamu adalah rumah terakhirku. Aku menemukan mama kamu yang begitu sayang serta perhatian. Juga papa kamu yang dengan tangan terbuka menerimaku."

DANDELION (Bukan) CINTA SEMPURNA/ OPEN PO/Dihapus SebagianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang