Seorang lelaki duduk terikat di ruangan sempit nan lembab itu. Tubuhnya sudah penuh dengan luka dan darah. Mungkin yang ia butuhkan adalah kematian. Itu jauh lebih baik
"Jadi, kau masih tidak mau membuka mulutmu, heh?" tanya seorang pria dengan tongkat kayu di tangannya.
Pria yang terikat itu tidak menjawab. Persetan dengan semua siksaan ini. Yang ia pedulikan sekarang adalah bagaimana caranya keluar dari ruangan dengan empat orang psikopat di sini. Walau... itu sedikit tidak mungkin.
"Wah, wah, sepertinya kau membutuhkan peluru ini masuk ke kepalamu terlebih dahulu, ya?" tanya pria lain sembari tangannya menodongkan sebuah senjata tepat ke kepala pria itu. Sebuah kilat ketakutan terlihat di matanya.
"Kau takut? Pada akhirnya kau merasakan apa yang dirasakan oleh korbanmu, heh?" Ketiga pria itu malah tertawa-tawa. Sementara seseorang yang menunggu di pojokan mulai merasa bosan. Ia merasa tiga orang ini hanya membuang waktu percuma.
"Cih, aku sama sekali tidak menyesal telah melakukannya. Orang-orang itu memang pantas mati," geram si Pria.
"Oh, kau masih bisa bicara rupanya. Jadi, kau sama sekali tidak menyesal?"
Pria itu menyeringai keji. Terlihat deretan giginya yang sudah dipenuhi dengan darah. "Aku menyesal? Tidak sama sekali. Aku malah senang mereka sudah mati."
Ketiga pria itu menggeram pelan. Keparat sekali manusia yang menyerupai iblis satu ini. Dapat dipastikan, setan juga heran dengan orang yang mau menyainginya.
"Aku pasti akan lepas dari sini. Sampai saat itu datang, aku bersumpah akan membunuh kalian semua dengan tang–"
Omongan pria itu terpotong karena satu peluru sudah mendarat menembus tengkorak kepalanya. "Siapa yang bilang kau akan bebas?" tanya si Gadis Penembak.
"Ck, Zoe kau itu sangat tidak menyenangkan," decak Paul kesal. "Setidaknya biarkan tongkat bisbolku memukulnya sekali lagi."
Zoe memutar matanya kesal. "Kalian membuang waktuku. Lagipula, tidak ada satupun pengadilan di dunia yang cocok untuk pria itu. Lebih baik ia menghadap langsung dengan hakim paling adil yang pernah ada."
"Siapa?" tanya Victor.
"Tuhan," balas Zoe kemudian ia melangkah keluar dari ruangan itu. "Ah, jangan lupa urus mayatnya," lanjutnya lagi sebelum menutup pintu.
"Cih, dia yang bunuh, malah menyuruh kita untuk membereskannya," keluh Paul.
"Sudahlah, daripada kebanyakan protes, bukankah lebih baik kita segera bekerja?" Jay langsung bergerak untuk mengurus mayat pria itu. Dengan terpaksa, Victor dan Paul juga ikut membantu Jay.
Sementara itu Zoe di luar sudah bersantai. Ia meminum cola yang tersedia di mejanya. Mungkin itu pemberian Jay.
"Kerja bagus," puji Greg. "Tapi, besok-besok jangan membunuhnya terlalu cepat. Setidaknya kita bisa menyiksa psikopat itu lebih lama lagi."
Zoe hanya tersenyum mendengar penuturan atasannya itu. Ada-ada saja.
"Kalian sudah mengurus mayat itu?" tanya Greg ketika ketiga pria itu baru saja keluar.
"Ya, kita akan menganggap pria itu mati saat penangkapan," jawab Victor.
"Sesekali saja seperti itu. Kita tidak bisa membuat semua penangkapan kita menjadi alasan kematian para penjahat itu. Jangan hanya mementingkan nafsu membunuh kalian," tegur Greg.
Mereka bertiga berpura-pura patuh. Zoe menahan tawanya geli. Oh, sudah pasti mereka tak akan membiarkan psikopat-psikopat itu tenang. Penyiksaan haruslah tetap dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agent's Love
General FictionTHE LOVE SERIES #3 17+ Jika ada yang bertanya orang yang mendekati sempurna di dunia ini, maka Zoe Elanor Ambroise adalah jawabannya. Paras cantik, terlahir di keluarga konglomerat, dan otaknya yang cerdas saja sudah bisa membuat Zoe dikatakan berun...