Twenty-Five

239 12 0
                                    

Cornelius menyodorkan ponselnya pada sang cucu. "Ayahmu." Zoe menggeleng, menolak untuk menerimanya. Pria baya itu menghela napasnya berat sebelum ia kembali berbicara pada Troyes.

Pagi-pagi buta tadi mendadak terjadi kehebohan. Tiba-tiba saja Zoe datang ke Washington DC bersama Johan tanpa memberitahu siapapun. Usut punya usut, ternyata anak itu baru saja kabur dari rumahnya. Cornelius semakin pusing ketika mengetahui ceritanya. Ia ternyata punya dua cucu yang hobi kabur-kaburan.

"Kau tenang saja, Zozo akan pulang jika dia memang ingin. Mungkin anak itu hanya butuh waktu sejenak untuk bisa menenangkan dirinya," ujar Cornelius. Setelah sepatah dua patah kata lagi, ia menutup teleponnya.

Cornelius kemudian menghampiri Zoe yang masih meringkuk di atas sofa. "Kenapa kau tiba-tiba kabur, Sayang?" tanyanya sambil mengelus kepala gadis itu penuh sayang.

Zoe tak menjawab pertanyaan kakek. Ia hanya menghampiri Cornelius dan memeluknya dengan erat. Saat ini yang ia inginkan adalah sebuah bahu untuk bersandar. Cornelius yang memahami sikap sang cucu, memutuskan untuk membiarkannya sejenak.

Cornelius terus mengelus kepalanya. Zoe mendekap di dada sang kakek dan mulai terisak di sana. "Grandad, apa Zae akan kembali?" tanyanya lirih.

Cornelius menghela napasnya. Mau seberapa kesal Zoe dengan sang adik, gadis itu akan selalu mengkhawatirkannya. Zoe benci mengakuinya, tapi rasa sayangnya pada Zae tak akan pernah bisa dideskripsikan dengan kata apapun.

"Anak itu pasti baik-baik saja, Zozo. Mungkin Zae butuh waktu sejenak agar ia bisa lebih tenang," ujar kakeknya menenangkan.

"Kenapa... dad dan Zae harus bertengkar lagi, Grandad? Kenapa sejak kematian Winter kita semua semakin menjauh?"

Tidak tahu. Tidak ada yang pernah tahu apa yang sedang terjadi dengan keluarga itu. Kadang mereka bisa sangat saling mencintai, kadang juga mereka seperti bersiap untuk perang dunia ketiga.

"Grandad juga tidak tahu, Zozo. Di saat seperti ini, kita hanya berharap adik dan ayahmu bisa segera berdamai lagi," katanya.

Zoe menghembuskan napasnya berat. Ini berbeda dengan ketika Zae pertama kali kabur. Troyes yang pertama kali mengetahuinya langsung panik mencari anak itu. Tapi, entah kenapa kali ini sang ayah bersikap biasa saja.

Pintu diketuk dan sang nenek masuk dengan membawa semangkuk sup di tangannya. "Zozo, kau pasti belum makan sejak semalam, kan? Ini Grandma bawakan sup untukmu." Amber menaruh mangkuk itu di meja.

Zoe melepas pelukan kakeknya. Gadis itu menyeka sisa air mata yang masih ada di sana. "Thanks, Grandma."

Amber membalasnya dengan sebuah senyuman. Segera saja Zoe mengambil sendok dan memakan sup buatan sang nenek. Zoe kembali teringat dengan masa kecilnya. Dulu saat ia dan Zae bertengkar, Amber selalu membuatkan sup sebagai comfort food mereka. Rasa ini... tidak pernah berubah.

"Kau ingin aku suapi, Zozo?" tanya Cornelius dengan nada menggoda.

Zoe memutar matanya. "Aku sudah besar, Grandad. Berhenti menganggapku sebagai anak kecil lagi," protesnya.

Cornelius mengacak rambut cucu kesayangannya itu gemas. "Ya, Tuhan! Kau sudah hampir tujuh belas tahun rupanya. Rasanya aku masih bisa mengingat bagaimana kau masih seorang bayi mungil yang bahkan tidak bisa mengangkat kepalamu sendiri."

Zoe merengut mendengar perkataan kakek. Tak peduli seberapa Zoe sudah tumbuh besar, kakek dan neneknya akan selalu menganggap ia anak kecil. Yah, memang begitulah hukum alam.

"Cepat sekali kau menghabiskan semuanya. Sepertinya kau benar-benar lapar" decak Amber ketika melihat mangkuk sup itu telah kosong. "Baiklah, aku akan keluar dan membuat kue untuk kalian. Ah, Johan pasti belum sempat makan, kan? Dia pasti akan menyukai makanan buatanku."

Agent's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang