Twenty-Six

220 13 0
                                    

Selama ini sang adik telah berusaha keras untuk menemukan siapa dalang di balik pembunuhan Winter. Zae memang melakukan semuanya diam-diam tanpa diketahui oleh siapapun. Namun, gadis itu lebih ingin membuktikan bahwa Greg memang bersalah.

Zoe sendiri berusaha untuk menghubungi sang adik saat insiden terjadi. Sayang, Zae sama sekali tidak ingin mengangkatnya. Sepertinya anak itu memang ingin pergi dari rumah dan tidak ingin berhubungan dengan siapapun.

"Zoe, bisa kita bicara sebentar?" panggil sebuah suara. Zoe menoleh dan ia dapat melihat ayahnya berdiri di sana. Wajah lesu dan kurang tidur tercetak jelas di wajah tampan itu.

Zoe mengangguk. Ia sudah tahu ayahnya berusaha untuk berbicara dengannya. Kesalahpahaman waktu itu harus segera diluruskan. Mereka berdua tiba di ruang kerja Troyes yang masih tidak berubah.

Zoe duduk di salah satu sofa dan berhadapan dengan sang ayah. "Dad ingin bicara apa?" tanyanya langsung.

Troyes menghela napasnya sebelum bibir pria itu berbicara. "Masalah waktu itu. Dad ingin meminta maaf atas sikap kasar Dad padamu. Dad saat itu sedang banyak pikiran sampai-sampai memperlakukanmu dengan kasar. Tolong, maafkan aku, Zozo."

Gadis itu menatap ayahnya dengan tatapan sendu. Dia sebenarnya sangat paham dengan apa yang ayahnya alami. Troyes sedang juga berusaha untuk menemukan pembunuh Winter. Itulah mungkin alasan kenapa Troyes begitu emosi sampai-sampai menampar Zae. tapi, tetap saja itu salah.

"Sebelum Dad meminta maaf pun, aku sudah memaafkan Dad. Tapi... apakah Dad sudah meminta maaf pada Zae?" tanyanya balik.

Troyes terdiam cukup lama. "Dad... berusaha menghubunginya selama ini. Namun, Zae sama sekali tidak mau menjawab. Dad akhirnya menghubungi Anna untuk memastikan bahwa anak itu baik-baik saja."

Zoe tersenyum tipis. "Aku senang jika Dad mau berusaha untuk berdamai dengan Zae." Gadis itu kemudian berdiri dan bersiap untuk pergi. "Aku harus pergi sekarang karena ada kasus penting yang akan aku tangani."

"Baiklah, aku harap kau baik-baik saja, Zoe." Pria itu berdiri dan memeluk putri pertamanya erat. "Bagiku, kau dan Zoe tetaplah pemberian terbaik yang Tuhan berikan. Aku rela melepaskan semuanya jika itu untuk kalian. Dad dan Mom sangat-sangat menyayangi kalian, Twins."

"Aku tahu itu. Maaf aku pernah berkata tidak sopan pada Dad." Zoe melepaskan pelukan itu dan melambai keluar. Saat ini ia punya agenda yang penting. Ada sebuah tempat yang harus ia kunjungi sebelum ia kembali pusing dengan kasus Winter. Sebelum itu, Zoe ke kamarnya untuk mengambil sesuatu.

"Johan, ayo kita pergi sekarang," ajaknya pada asisten pribadinya itu. Johan mengangguk patuh. Mereka berdua segera berjalan menuju Tesla yang sudah terparkir di sana. Mobil itu kemudian berjalan menuju tempat yang lama ingin Zoe kunjungi.

Kota Manhattan masih saja ramai. Hari itu langit cukup cerah karena sebentar lagi akan masuk musim panas. Zoe hanya terdiam menatap jalanan. Banyak bunga tumbuh memenuhi trotoar membuatnya lebih berseri.

Mereka tiba beberapa saat kemudian. Itu adalah tempat pemakaman umum. Entah berapa lama Zoe menunggu agar dirinya siap mengunjungi tempat ini. Mungkin masih sulit bagi Zoe untuk menerima kenyataan bahwa Winter sudah tiada.

WINTER KANE

Zoe berdiri di hadapan makam itu. Ia menaruh sebuah buket bunga mawar putih di atasnya. "Maaf aku baru sempat mengunjungimu, Winter."

Setetes air mata menitik dari manik hazel itu. Zoe masih tidak percaya jika Winter harus pergi secepat ini. Gadis itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari tas miliknya.

Lukisan pemandangan yang ia dan Winter lihat terakhir kali.

"Aku baru bisa menyelesaikan ini." Ia menunjukan lukisan itu seakan Winter ada di hadapannya. "Kau selalu tahu bahwa dengan melukis atau menggambar aku bisa lebih tenang. Mirisnya, aku lebih banyak melukis ketika kau justru pergi dari hidupku."

Agent's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang