Twenty-Nine

195 10 0
                                    

Andreas duduk terikat di kursi kayu itu. Sementara di hadapannya telah berdiri lima agen yang telah sukses menangkapnya.

"Jadi, kenapa kau melakukan percobaan pembunuhan terhadap wakil presiden dan perdana menteri?" tanya Paul sambil memegang tongkat bisbol kesayangannya. Setelah Andreas ditangkap, mereka segera membawanya ke markas untuk melakukan interogasi. Tentu saja hal ini dimanfaatkan mereka agar bisa menyiksa pria itu sampai puas.

Andreas memilih bungkam. Jika disuruh memilih, ia lebih menyukai kematian ketimbang mengakui apa yang telah ia lakukan. "Bagaimana mungkin agen rendahan seperti kalian meminta bantuan pada Ambroise Corp, heh?"

Luke terkekeh pelan. "Itu karena kau juga nyaris membunuh cucu kesayangannya." Perkataan Luke sukses membuat Andreas membelalakan matanya.

"Apa maksudmu?"

"Kau tidak tahu? Salah satu cucu Cornelius Ambroise menjadi pengawal wakil presiden. Alexander Benaya Ambroise, dia salah satu orang penting di negeri ini. Bisa kau bayangkan betapa murkanya Cornelius ketika kau nyaris membunuh cucu pewarisnya itu?"

Itu bukan sepenuhnya cerita sembarangan. Zoe sendiri juga baru tahu kalau sepupunya yang paling tua itu ternyata dipilih secara khusus untuk menjadi pengawal. Memang, sejak dulu dirinya dan Alexander dilatih oleh sang kakek. Tapi, alasan Cornelius membantunya bukan karena Alexander, melainkan Zoe yang nyaris terbunuh.

Andreas menggeram. "Itu resiko kalau berurusan dengan para manusia itu. Kalau memang harus mati, ya sudah."

"Kalau begitu, jika kau harus mati di sini tidak masalah, ya?" Zoe merebut tongkat bisbol Paul dan memukul tepat di perut Andreas. Pria itu mengaduh kesakitan. "Dasar manusia tidak punya otak."

"Katakan apa yang menjadi alasanmu dan setidaknya penyiksaan ini tidak akan berjalan lama," tegas Jay. Pria itu terlihat sudah lelah dan ingin segera pulang.

"Aku tidak akan membuka mulutku. Jika kalian ingin aku mati, maka silakan saja bunuh aku di sini." Andreas memalingkan wajahnya ke samping.

"Percuma membuatnya membuka mulut, lagipula kalian melakukannya karena ingin menyiksanya, kan?" Greg baru saja masuk ke ruangan itu. "Sudah banyak bukti yang mengarah padanya dan dia juga sudah mengaku. Jadi, kita serahkan saja semuanya pada pengadilan."

"Cih, kami yang susah payah menangkapnya, tapi mereka yang menentukan segalanya," decih Paul.

"Kalau begitu kau kerja saja sebagai hakim," ujar Greg yang kembali membuat Paul berdecih.

Para agen itu kemudian membawa Andreas kembali ke jeruji penjaranya. Untuk kali ini, penangkapan mereka berjalan lebih cepat dari yang di duga.

"Greg," panggil Zoe pada pria paruh baya itu.

Greg menoleh. "Ada apa, Zo?"

"Ah...." Lidahnya mendadak kelu. "B-bolehkah aku mengambil cuti sejenak?"

"Untuk apa?" Dahinya berkerut heran.

"Ada urusan penting yang harus aku kerjakan. Ini soal Winter...," katanya dengan pelan.

Greg menghela napasnya berat. Ia menepuk kepala gadis itu. "Setidaknya sampai beberapa minggu ke depan kita tidak ada pekerjaan apapun. Jika kau ingin melakukannya, aku tidak akan melarang," ucapnya sebelum berlalu dari sana.

Senyum Zoe merekah dan ia mengucapkan terima kasih berkali-kali pada Greg. Gadis itu senang karena dia akhirnya bisa membalaskan dendam pria itu. "Winter, aku berjanji akan membuat mereka yang membunuhmu itu menderita," batinnya.

...

"Gabungan kepolisian berhasil menangkap Andreas Burock yang menjadi tersangka percobaan pembunuhan terhadap wakil presiden dan perdana menteri beberapa waktu lalu. Andreas diringkus di kediamannya sesaat sebelum ia pergi melarikan diri ke Meksiko. Saat ini saya berada di depan pengadilan yang akan...."

Agent's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang