Twenty-Three

236 11 0
                                    

Setelah kejadian itu, segalanya berlangsung begitu cepat. Yang Zoe ingat, polisi akhirnya datang dan Winter sempat dibawa ke rumah sakit. Namun, sudah sangat terlambat. Pria itu sudah menderita begitu parah karena penyiksaan yang sebelumnya.

Troyes dan Cantrelle datang satu jam kemudian. Mereka menutup acara peresmian lebih cepat untuk menyusul ke rumah sakit. Saat mereka tiba, hanya tersisa Winter yang sudah ditutupi kain dan Zae yang terus memeluk jasad pria itu. Troyes memeluk dan berusaha menghibur anak bungsunya. Zae benar-benar tidak berhenti menangis bahkan sampai mereka kembali ke rumah.

Anak itu, tidak. Mereka semua telah kehilangan sosok yang amat berharga.

Pemakaman Winter berjalan tertutup. Hanya orang-orang terdekat saja yang hadir di pemakamanya. Zoe menatap peti mati Winter dari kejauhan. Hatinya mendadak sakit tiap kali ia melihat Winter yang terbaring di sana. Sepertinya baru kemarin ia dan Winter mengobrol berdua. Senyum dan tawa khas pria itu benar-benar membekas di hati Zoe.

"Aku ingin bersamamu lebih lama lagi, Winter...," gumam Zoe lirih. Gadis itu menangis dalam diamnya. Zoe dapat melihat sang adik yang begitu terpukul dengan kematian Winter. Hanya Zae yang melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Winter pergi.

Cantrelle datang menghampiri Zoe dan mengelus punggungnya. "Jangan menahan tangismu, Zo. Jika kau ingin menangis, keluarkan saja." Zoe memeluk ibunya dengan erat dan menangis dalam pelukan Cantrelle.

"Thanks, Mom," ujar Zoe sambil menghapus sisa-sisa air matanya. Tak lama setelah itu, pastor pun datang untuk memimpin ibadah pemakaman Winter.

Zoe berusaha mengikutinya dengan penuh hikmat. Namun, sekeras apapun ia berusaha, pikirannya terus melayang kepada memori tentang Winter. Keluarga besar Winter, bahkan sang adik memberikan pidato kepada pria itu. Zoe dapat melihat dengan jelas wajah putus asa dari Zae.

Tiba saatnya mereka akan menutup peti mati Winter. Untuk yang terakhir kalinya Zoe melihat wajah Winter. Ia menatap pria berambut pirang itu lekat-lekat. Ada seulas senyum tipis yang terukir di wajahnya.

"Goodbye, Winter," batinnya dalam hati. Ketika peti itu ditutup, rasa kehilangan Zoe terasa semakin nyata. Kenyataan bahwa Winter akan meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.

Setelah mereka selesai memakamkan Winter, ayah, ibu, dan kembarannya menemui keluarga Winter untuk berbicara sebentar.

"Keluarga Ambroise, terima kasih telah hadir hari ini," ucap bibi Winter sembari menggenggam tangan Troyes. "Aku yakin, Winter pasti bahagia."

Zae mendadak jatuh berlutut. Gadis itu kini tersungkur di kaki bibi Winter. "Maafkan aku! Ini semua adalah salahku!" teriaknya dengan keras.

Zoe tak sanggup lagi melihat pemandangan itu. Hatinya sangat sakit saat Zae terus menyalahkan dirinya. Pada akhirnya, Zoe memutuskan untuk keluar dari gedung gereja untuk menenangkan pikirannya sejenak.

Jay yang melihat gadis itu tiba-tiba keluar, segera menyusulnya. Ia dapat melihat Zoe yang duduk di kursi taman sembari menatap langit. Air mata menitik dari mata hazel indah miliknya. Dengan cepat Zoe menghapus air matanya kasar, seakan tak mau kesedihannya terlihat.

Jay tahu persis perasaan itu. Perasaan yang sama saat ia kehilangan sang ibu.

Jay menghampiri Zoe yang masih termenung sendirian. Ia kemudian mengambil tempat duduk di sebelah gadis itu. Zoe sedikit terkejut saat Jay baru saja duduk. Pria berambut panjang itu menatapnya dengan tatapan lembut.

Jay merangkul bahu Zoe. "Di akhir hidupnya, ibuku pernah berkata, 'Jika suatu hari ibu pergi, menangislah sepuas hatimu. Kau boleh menghabiskan satu hari bahkan satu minggu untuk menangisiku. Tapi, setelah itu kau akan menemukan hari di mana kau bisa tersenyum lebih lebar.'"

Agent's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang