Thirty-One

217 12 0
                                    

Pintu cokelat itu diketuk. Zoe masuk dan melihat sang ayah sedang tertunduk. Bahu ayahnya naik turun seperti sedang terisak. "Daddy?" panggilnya. "Daddy menangis?"

Troyes yang mendengar panggilan anaknya langsung terlonjak. Ia buru-buru menghapus sisa air matanya dan tersenyum ke arah Zoe. "Daddy tidak menangis, Zozo."

Zoe menghampiri ayahnya. Ia naik ke pangkuan Troyes dan menghapus air mata di pipinya. "Jangan menangis, Daddy."

"Daddy tidak menangis. Tadi ada debu masuk ke mata Dad," jawabnya sambil mengecup pipi gembul Zoe. "Kenapa kau kemari, Sayang?"

"Aku ingin bersama Daddy. Biasanya saat aku sibuk, Daddy tidak sibuk. Tapi ketika aku tidak sibuk, Daddy yang sibuk. Apa sekarang Daddy masih sibuk?" tanyanya sedikit cemberut.

Troyes terkekeh pelan. "Daddy akan selalu punya waktu untukmu, Zozo. Kapanpun kau memintanya, Dad akan memberikan itu untukmu." Ia membelai kepala anak pertamanya itu dengan sayang.

Zoe mengangkat satu kelingkingnya. "Janji Daddy akan selalu mau menghabiskan waktu bersamaku?"

Troyes menautkan jarinya dengan kelingking kecil itu. "Sampai kapanpun Daddy akan terus bersamamu, mommy, dan juga Zae." Pria itu kini memeluk anak gadisnya dengan sangat erat. "Maafkan aku, Sayang."

"Kenapa Daddy meminta maaf?" Dahinya berkerut bingung.

"Ah, bukan apa-apa," katanya tersenyum pahit. Ia mengecup kening Zoe dengan amat sayang. "Maaf aku bukan ayah yang baik untukmu, Zozo," batinnya dalam hati.

Lagi-lagi setetes air mata terjatuh di pipinya.

...

Zoe tersentak pelan dari mimpi itu. Ah, kenapa dia mikirkan kejadian itu lagi? Gadis itu beranjak dari tempat tidurnya dan segera ke kamar mandi untuk mencuci muka. Zoe menatap wajahnya di cermin. Sekilas, ingatan itu muncul lagi.

Dulu mungkin Zoe tak paham kenapa ayahnya sering meminta maaf. Sekarang, gadis itu sadar apa yang dimaksud Troyes. Sang ayah selalu dihantui rasa bersalah yang amat besar sampai saat ini. Troyes sadar bahwa keputusannya dulu menghilangkan masa kecil dua putrinya.

Zoe memang pernah berharap bisa tumbuh seperti anak normal, sama seperti Zae yang kabur ke Indonesia demi mendapat hal itu. Namun, gadis itu juga tidak masalah akan apa yang telah terjadi. Tidak semua anak bisa tumbuh seperti yang mereka inginkan, dan Zoe paham ia mungkin juga tidak bisa.

Saat ini yang bisa ia lakukan adalah terus maju dan melanjutkan hidup. Masa lalu tidak akan pernah bisa diubah, lebih baik fokus untuk masa mendatang. Apalagi, jika masa kecilnya tidak terjadi, Zoe mungkin tidak akan bertemu dengan Paul, Victor, Luke, dan terutama Jay.

Tunggu dulu!

Kenapa harus spesifik terutama "Jay"? Semburat merah muda muncul di pipinya. Zoe buru-buru menyelesaikan acara cuci muka itu sebelum keluar dari kamar. Hari ini hari libur dan Zoe ingin memanfaatkannya dengan bersantai sepanjang hari. Saat gadis itu turun, ia terkejut dengan sang adik yang sudah rapi di meja makan.

Hari libur dan Zae yang berpakaian rapi itu adalah dua kombinasi yang nyaris mustahil terjadi. Zoe bahkan tak menyangka jika seorang Zae bisa bangun pagi di hari libur. Hei, matahari baru terbit pukul dua belas di hari liburnya!

"Morning, Zoe. Kau ingin sarapan apa, Sayang?" tanya Cantrelle. Wanita itu juga masih memakai piyama satin berwarna navy. Di sebelahnya ada Troyes yang sibuk menyesap kopinya.

"Sereal saja, Mom. Thanks," balas gadis itu tersenyum. "Morning, Dad."

"Morning, Zo. Apa kau berencana pergi hari ini?" tanyanya berbasa-basi.

Agent's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang