Six

651 21 0
                                    

Musim kini telah berganti menjadi musim dingin. Suhu udara kian menurun seiring berjalannya waktu. Namun, di kantor itu tetap saja panas dengan kasus yang tidak ada hentinya.

Kepala Zoe bisa meledak lama-lama kalau seperti ini. Sejak tertangkapnya Mena, kroco-kroco yang terlibat juga berhasil dibereskan semuanya. Yang paling sulit adalah menangkap para bos besar mereka. Orang-orang itu terlalu berkuasa sampai membuat mereka sulit bergerak.

Belum lagi kini semua mata publik tertuju pada gerak-gerik mereka. Mena yang adalah anggota FBI, membuat publik terbagi dalam dua bagian. Satu pihak mendukung mereka dan pihak lain justru mengecam. Mereka tak percaya dengan "kebersihan" dari aparat hukum. Itulah mengapa para agen itu bekerja keras demi terselesaikannya kasus ini.

"Hah, sialan sekali," keluh Paul. "Banyak sekali artikel provokasi yang tersebar di internet. Mereka semua menulis hal yang sama, tentang apabila pengerjaan kasus ini hanyalah pencitraan belaka. Hah, mereka tidak tahu saja kita bekerja siang malam untuk mengungkap ini."

"Wajar saja mereka berbicara seperti itu, Paul. Kepercayaan masyarakat terhadap badan keamanan negara semakin turun karena ulah oknum yang tidak bertanggung jawab," ucap Victor. "Imbasnya terjadi pada kita-kita ini. Oknum yang memang berjuang untuk kepentingan publik."

"Ya, kau benar, Vic. Tapi, sesial-sialnya kita, aku lebih kasihan pada Luke."

Dahi Victor mengerut heran. "Kenapa?"

"Luke diteror media. Diteror dalam artian dia benar-benar diikuti media kemanapun dia pergi."

"Ya, Luke bahkan harus menginap sementara di rumahku sampai kasus ini mereda. Dia hampir gila dengan semua mata yang tertuju kepadanya," sahut Jay.

Zoe tak ikut dalam pembicaraan itu. Ia juga sebenarnya kesal dengan media yang menggembor-gemborkan kasus ini. Bahkan, ibunya juga sering bertanya perihal perkembangan penyelidikan mereka. Lumayan untuk berita eksklusif, kata sang ibu ketika Zoe bertanya.

"Hei, kalian masih saja bekerja?" Luke menghampiri mereka sambil membawa empat buah kopi.

"As always. Kami ini budak intelijen, apa yang kau harapkan?" cibir Paul. Tangannya mengambil espresso yang dibawa Luke. "Thanks, Bud."

"Sama-sama. Anggap saja ini permintaan maaf karena sudah merepotkan kalian."

Jay menepuk pundak pria itu. "Kau melakukannya karena ingin kebenaran ditegakkan, Luke. Kami sendiri juga tidak tega melihat anak-anak tak berdosa dimanfaatkan seenaknya saja. Aku punya adik perempuan dan aku tak ingin membayangkan jika hal itu terjadi pada adikku."

Luke tersenyum simpul. "Thanks, Dude."

"Ya, jangan merasa bersalah, Luke. Coba saja bayangkan aku atau Zae yang juga jadi korban perdagangan manusia. Mungkin kalian akan kehilangan dua otak cerdas di CIA."

Serempak orang-orang itu mendengus keras. "Kau dan Zae sama saja ternyata. Aku pikir kau lebih normal."

"Tidak ada keturunan Ambroise yang normal. Kau lihat saja ayah dan ibunya. Bekerja di bidang politik sekaligus bisnis. Usaha yang bagus untuk bisa menjadi mesin pencetak uang."

"Kau benar. Pantas saja Troyes Ambroise mampu menjejakan kakinya di PBB, dukungannya besar sekali."

Para lelaki itu tertawa-tawa. Senang sekali rasanya menganggu Zoe. Yang diganggu hanya memutar matanya kesal. Hal-hal seperti ini memang lumrah terjadi dan Zoe sudah sangat kebal dengan itu semua.

Gadis itu melirik jam yang ada di dinding. Sudah pukul empat. Segera saja Zoe mengepak barang-barangnya dan memakai mantel miliknya.

"Hei, kau sudah mau pulang, Zo? Apa kau marah karena kami membicarakanmu?" tanya Victor heran.

Agent's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang