Hei, Doctor! 01

1.9K 82 10
                                    

Hei, Doctor! 01

💮💮💮
 

Kehidupan pernikahan layaknya sebuah cerita dalam negeri dongeng memang menjadi impian sebagian orang. Bertemu pangeran tampan atau putri cantik jelita, tinggal di sebuah mansion mewah penuh dengan gemerlap dan air mancur tenteram, juga mertua yang super baik hati adalah anugerah yang tak terelakan. 

Vivian merasakannya. Meski rumah yang mereka beli tidaklah seluas dan semewah milik Bimasatya ataupun berupa apartemen suit room milik Davis, kehidupan barunya bersama Keano menjadi lebih sempurna di dalam rumah sederhana yang terletak di pinggiran kota. Jauh dari bisingnya kendaraan dan polusi. 

Mereka pasangan baru, yang masih bahagia-bahagianya. Setiap momen yang tercipta masih hangat-hangatnya. 
 
Meskipun letak rumah mereka sedikit terlalu jauh dari rumah sakit tempat mereka bekerja, namun itu sama sekali bukan masalah. Mereka menjalaninya dengan bahagia.
 
Dan tentu, puncak kebahagiaan itu adalah saat di mana Keano menerima satu alat tes kehamilan yang berisikan dua garis. Juga pemberitahuan dari dokter yang mengatakan bahwa bayinya sudah berusia delapan minggu. Sehat, dan normal.
 
Di sore harinya, mereka memutuskan untuk langsung ke rumah orang tua Keano demi mengumumkan kabar bahagia ini. Seperti dugaan, Rena tampak antusias sekali. Memeluk dan memberi Vivian kecupan bertubi-tubi di pipi. 
 
“Tapi baguslah kalau bukan kamu yang dapet morning sick, Vi. Mama juga dulu gitu waktu hamil Kara, sama sekali nggak ngerasain sakit atau apa, malah Papamu tuh.” Rena melirik ke arah suaminya yang duduk di kursi tunggal ruang keluarga mereka.
 
“Berarti pas hamil Mas Saka sama Ken sakit, Ma?” tanya Vivian.
 
Rena mengangguk menjawab pertanyaan menantunya. “Mama yang morning sick kalau hamilnya Ken sama Saka. Mungkin karena laki-laki, ya?” Dia lalu tertawa.
 
“Berarti yang di perut Vivian ini kemungkinan perempuan dong, Ma?” Keano bersuara. 
 
“Ya nggak tau. Setiap kehamilan itu kan, beda-beda. Kamu dokter masa nggak tau?”
 
Rumah Bimasatya pada sore hari ini cukup sepi. Hanya ada Seto dan Rena yang menghuni, juga beberapa asisten rumah tangga. Kara sedang tidak ada di sini, lebih sering menghabiskan waktu di apartemennya yang terletak di Menteng. Sedangkan Saka dan istrinya maupun Abid hanya akan berkunjung jika itu di malam libur saja. 
 
Keano berpikir, mungkin dia dan Vivian harus ke sini lebih sering. Karena raut bahagia dari ke dua orang tuanya terlihat begitu terpancar begitu melihat kedatangan mereka tadi.
 
Namun meskipun begitu, Keano maupun Vivian tetap harus pulang ke rumah mereka. Mereka belum punya asisten rumah tangga atau satpam khusus, akan sangat berbahaya jika kediaman mereka ditinggal terlalu lama.
 
Keduanya sampai di dalam rumah dengan cat putih simpel dengan dua garis pintu jati itu sekitar pukul sembilan malam. 

Semua kebutuhan untuk makan malam sudah di tangan, begitu pula susu ibu hamil yang tadi dokter sarankan. 

Dan karena Keano tidak mau Vivian merasa lelah karena dari tadi belum tidur ataupun istirahat, sementara mulai saat ini tidak akan dia izinkan Vivian memakan makanan cepat saji lagi, jadi Keano yang akan memasak. Meskipun amatir, kalau hanya membuat tumis jamur dan sup hijau tentu dia bisa sangat diandalkan.

Vivian yang duduk di stool pantri dapur mereka yang minimalis mengamati sambil mengulum senyum. Dia bertopang dagu. Keano jarang sekali terlihat memasak, tapi bahkan sekarang suaminya itu tampak tidak canggung berdiri di harapan kompor sambil memotong-motong bahan. 

Sebenarnya suaminya itu tidak harus repot-repot masak seperti ini seandainya mereka tidak menolak untuk makan malam di rumah mama tadi. Tapi Keano berambisi sekali untuk menyiapkan makanan sehat yang dibuat dari tangannya sendiri untuk istri dan calon bayi mereka.

Terdengar manis, dan posesif tentu saja.

Dan di sela-sela Vivian mengamati suaminya, ponsel yang dia geletakkan di atas meja bergetar panjang. Ada dering dengan nama ‘Papa’ di sana. Dia mengangkatnya segera.

Vien,” Suara Davis terdengar memenaggil. “Kamu hamil tapi nggak kasih tau Papa sama sekali?”

Mendengar itu, Vivian meringis. “Besok rencananya mau langsung ke tempat Papa setelah Keano pulang kerja.”

Ada hembusan napas lega di sana. “Ada kakakmu di sini. Kamu boleh datang.”

“Kak Sofi di sana?” Vivian menyebut nama kakak perempuannya.

Davis berdehem panjang. “Bentar lagi ... Papa akan bercerai. Besok kamu datang, tolong hibur kakakmu.

“Eum—” Vivian tercenung. Apa kata papanya barusan? Bercerai, ya? Kenapa? Bukan disebabkan oleh dia ataupun mamanya, kan? Dia tidak mau lagi menyebabkan rumah tangga papanya berantakan setelah melihat kondisi memprihatinkan dari kakaknya, Sofia. “Papa ... Udah pikirin baik-baik?”

Vivian hanya tidak ingin papanya menyesal. Melepas seseorang yang mencintainya demi menggapai masa lalu semu bukanlah pilihan yang benar. Jika Davis melakukan itu demi bisa mendapatkan mamanya kembali, itu akan sia-sia. 

Tentu bukan untuk mamamu, Vien,” kata Davis menjawab seluruh pertanyaan di dalam kepala sang putri. “Papa hanya merasa sudah tidak pantas. Mempertahankannya hanya akan menimbulkan luka yang sepertinya susah sekali untuk hilang. Rumah tangga kami memang sudah rusak sejak lama. Papa hanya mau mengakhirinya supaya nggak ada lagi yang terluka.

Vivian tidak lagi bisa berkata. Itu sudah keputusan sang papa. Kalau memang bukan karena dia ataupun ibunya, sepertinya Vivian juga tidak berhak untuk mencegah. 

“Hm. Aku besok ke sana.” Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah menemui kakaknya. Dia tahu sekali bagaimana hancurnya ketika seseorang yang kamu percayai, yang selama ini kamu teladani, pergi meninggalkan semua tanggung jawab tanpa peduli sama sekali dengan perasaanmu. 

Sofia pasti hancur sekali. Pasrah dan tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan seperti yang dulu pernah Vivian alami.

Meskipun Vivian begitu menyayangi Davis karena bagaimanapun pria paruh baya itu adalah papanya, namun di sisi lain dia juga kecewa, cukup menyayangkan pilihan papanya yang pasti akan menimbulkan kesalah pahaman di antara dirinya dan Sofia.

“Kenapa?” Keano yang sepertinya dari tadi menguping pembicaraan sang istri bertanya ketika Vivian sudah memutuskan sambungan telepon dan meletakkan ponsel genggamnya kembali ke atas meja.

Pria itu menyiapkan beberapa hidangan yang sudah matang ke hadapan sang istri.

“Papa mau pisah.” Vivian menjawab sambil menghela napas. Meraih sendok dan menyesap pelan sup hangat buatan Keano.

Kening Keano mengernyit kecil. “Pisah?” Dia tahu bahwa Davis dan mama Vivian sudah lama berpisah. Namun untuk lebih dalamnya mengenai keluarga Davis, dia masih kurang tahu.

“Sama mamanya kak Sofi,” jelas Vivian. “Besok aku harus ke sana.”

“Kita memang berencana ke sana.” Keano ikut duduk berhadapan dengan Vivian. Ikut menyendok kuah sup dan menyesapnya. “Apa ada yang salah mengenai perceraian papa dan ... Mama tiri kamu? Selama bukan kamu penyebabnya, sepertinya ini udah jadi pilihan mereka.”

Vivian mengangguk pelan. Dia juga berpikir demikian. “Tapi ... Aku mikirin Kak Sofi.” Tatapannya kembali menerawang. “Aku takut dia kembali salah paham dan hubungan kami memburuk seperti dulu.”

Menyadari kegelisahan sang istri, Keano meraih tangannya yang berada di atas meja. Meremasnya demi menyalurkan kenyamanan dan ketenangan layaknya suami istri kebanyakan. 
 
“Besok kita ke sana. Semoga Sofia bisa mengerti.”
 

💮💮💮

Kayanya untuk Hei, Doctor! Bakal aku lanjut di sini aja kali ya biar nggak banyak draft. Gimana menurut kalian?

Doctor Lover'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang