Bab 33

217K 13.7K 79
                                    


***

Wajahnya memucat.

Ya, ini memang sudah diduganya sejak awal, kan? Namun kenapa rasanya masih sesakit ini? Padahal dia sudah memprediksi sebelumnya.

Lalu, apa katanya? Jadi Keano sudah tahu dan memilih merahasiakannya? Membuat Vivian tampak bodoh beberapa hari ini karena sempat merasa bersalah?

Hari ini perasaan Vivian benar-benar tidak karuan, sampai-sampai dokter Fredi, yang bertugas dengannya di IGD hari ini menyuruh Vivian untuk beristirahat saja. Seolah wajahnya yang pucat dan matanya yang memerah bisa dilihat langsung oleh dokter paruh baya itu.

Awalnya Vivian menolak untuk beristirahat, tapi karena takut konsentrasinya pecah dan mengganggu pasien akhirnya Vivian menurut dan memilih pulang.

Rima yang melihat penampilannya saat membuka pintu tentu saja terheran-heran.

"Lo balik lagi? Ada yang ketinggalan?" tanyanya sambil menyisir rambut di depan cermin.

Dan saat melihat sahabatnya langsung terbaring telungkup di atas kasur, Rima semakin penasaran. Lalu melangkah menghampiri Vivian.

"Kenapa lo?" ucapnya saat sudah duduk di tepi ranjang. Sepertinya dia harus menunda sedikit kepergiannya ke kantor.

Vivian bergeming. Tidak ada niat sama sekali menjawab pertanyaan Rima. Wajahnya tenggelam di dalam bantal.

"Kalau ada masalah cerita. Jangan dipendem sendiri. Apa gunanya gue di sini coba?!" Gadis yang sudah siap dengan pakaian kantornya itu mencebik sebal. Ya, dia harus lebih banyak bersabar mempunyai sahabat yang kepalanya sebelas dua belas dengan batu. Rima menghela napas keras, "Oke, gue harus kerja. Dan mungkin lo juga lagi pengen sendiri. Kalau lo udah siap cerita, panggil aja gue. Bye!"

Vivian mengangkat wajah saat mendengar pintu yang ditutup oleh Rima. Lalu kembali memeluk bantal untuk menuntaskan tangisnya.

Walau sudah menduganya, entah kenapa hatinya masih sesakit ini. Ditambah Keano sama sekali tidak memberi alasan kenapa pria itu menolak masa lalunya. Dia tahu itu memalukan, tapi setidaknya katakan dengan baik-baik, jangan langsung mengusirnya seenak hati.

Vivian dipaksa mengerti. Statusnya memang susah untuk diterima. Tapi itu juga mampu meyakinkan Vivian, kalau Keano, pria yang sampai saat ini masih memiliki hatinya, ternyata sama saja dengan Devon ataupun Teya. Bisa saja pria itu memilih untuk mengungkapkan identitasnya ke seluruh penghuni rumah sakit, kan?

Hah! Dan akhirnya dokter Rasya menertawakannya.

***

Malam itu, masih di dalam ruang kerja yang remang-remang dengan laptop menyala, pria itu duduk ditemani secangkir espresso tanpa gula.

Keano kembali membuka wawancara yang dilakukan Sofia, yang merupakan kakak Vivian beberapa tahun lalu. Dirinya masih penasaran tentang hidup Vivian. Dengan membuka video Sofia, mungkin dia bisa mendapatkan beberapa petunjuk.

"–Ya, tentu saja. Meski beberapa kali mengecewakan, Papa tetap men-supportku," ujar Sofia yang diduga Keano tengah berada di acara wisudanya. Gadis itu tampak ramah dengan bunga flanel besar di pelukannya.

Tapi ada kejanggalan. Keano menyadarinya tentu saja.

Mengecewakan?

Doctor Lover'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang