Bab 10

361K 22.1K 235
                                    

***

Mega membantu Rasya melepaskan baju hijau setelah operasi yang mereka jalankan selesai. Sedikit bingung kenapa wajah cantik dokter Rasya tampak murung seharian ini. Berkali-kali juga Mega melihat dokter Rasya menghela napas. Dirinya ingin bertanya, tapi sungkan.

"Kamu mau ikut saya ke bawah, Meg? Beberapa barang saya ketinggalan di mobil."

Mega mengangguk, meskipun dia malas sekali. Tapi kali ini tidak berani menolak karena sepertinya suasana hati dokter Rasya sedang buruk dan membutuhkan teman.

"Saya nggak lihat Keano seminggu belakangan."

Memasang telinga, akhirnya Mega mengetahui alasan dokter Rasya murung. "Tadi pagi kayaknya dokter Keano ada, dok. Saya lihat di meja resepsionis." Sama di depan ruangan Vivi.

Dokter Rasya menoleh, matanya terlihat meminta kepastian. "Jadi dia dateng hari ini?"

Yang dijawab Mega dengan anggukan. Keduanya menuruni tangga melingkar yang menghubungkan ke lantai satu. Dalam hati Mega merutuk kenapa atasannya ini justru memilih tangga dari pada naik lift? Bikin gempor aja.

"Akhir-akhir ini saya sedikit susah buat hubungi Keano. Sasi juga nanyain terus. Kangen sama nasi gorengnya. Tapi ya gitu, orangnya suka ngilang."

Mega setia mendengarkan. Sedikit prihatin sebenarnya dengan dokter Rasya. Kelihatan sekali dari mata dokter Rasya kalau wanita itu masih memiliki perasaan terhadap Putra kedua Bimasatya itu. Mega tidak tahu harus menjawab apa. Hanya menekuri kakinya yang menuruni anak tangga satu persatu sambil menunduk.

Keduanya berhenti saat di ujung sana, tepat empat anak tangga di bawah tempat mereka berdiri, dua orang dengan jas putih yang sama, saling menautkan bibir dengan lumatan-lumatan lembut. Mega sampai tidak bisa mencegah mulutnya untuk tidak ternganga.

Dokter Keano? Vivi? ... kok bisa?!

Belum sempat memikirkan apa yang terjadi, Mega melihat dokter Rasya yang langsung kembali menaiki anak tangga. Mega bingung mau ke mana, tapi dua orang di bawah sana sepertinya masih belum menyadari kehadiran mereka. Jadi dia memutuskan untuk menyusul dokter Rasya saja.

***

Keano menjauhkan wajahnya perlahan. Menatap wajah bingung di depannya yang entah kenapa justru terlihat cantik. Tangannya mengusap bibir bawah Vivian yang masih basah oleh saliva miliknya.

Nafas keduanya masih terengah-engah. Semuanya terjadi begitu saja. Entah selama apa mereka berciuman seolah mencari oksigen, menuntut tapi lembut. Vivian menunduk. Tidak berani menatap mata Keano dan takut melunak karenanya.

Dirinya merasakan telunjuk Keano mengangkat dagunya, memaksa agar Vivian mau menatap mata hitam itu. "Kamu masih mau menyangkalnya?" bisik Keano.

Vivian tidak tahu. Pelukan yang berujung adu bibir di antara mereka terasa begitu pas baginya. Dia bahkan ikut menyambut kehadiran bibir dokter Keano. Tapi kembali lagi, dirinya takut ditinggalkan. Tidak semudah itu bagi dokter Keano untuk mencintainya saat laki-laki itu akhirnya tahu masa lalunya.

Kepalanya menunduk semakin dalam, melawan rasa yang terus memerintahnya untuk kembali memeluk dokter Keano dan mencium laki-laki itu sampai mereka kehabisan napas. Tidak. Dia tentu saja tidak boleh begitu saja menyerah dengan ambisinya.

Keano mengangkat tangan, mengusap kepala gadis di depannya dengan sayang. Entah apa yang membuat Vivian masih meragukannya, padahal jelas-jelas perempuan itu ikut menyambut bibir saat Keano menciumnya. Tapi tentu saja Keano tidak akan menyerah, setelah dua tahun lamanya dia mati rasa dan hanyut dalam perasaan bersalah, akhirnya hatinya pun mau kembali berdetak hanya karena satu ciuman. Dan Vivian tidak bisa dia lewatkan begitu saja hanya karena perempuan itu menolak.

"Nggak harus buru-buru, kita bisa saling mengenal dulu. Kamu bisa tanya-tanya tentang aku, begitu pun sebaliknya. Nggak masalah." Keano mencoba membujuk sekuat tenaga. Karena bagaimana pun juga dia menginginkan gadis ini. Apa pun akan Keano berikan asal Vivian nyaman berada di dekatnya. Ya, seperti itulah seorang Keano Bimasatya jika sudah jatuh cinta.

Mata bulat yang membuatnya terhipnotis beberapa malam ini pun akhirnya mau menatapnya, meskipun ragu-ragu. Netra coklatnya seolah masih perlu untuk diyakinkan sekali lagi. Dan Keano sama sekali tidak keberatan untuk meyakinkan Vivian berkali-kali. "Percaya sama aku, Vi. Aku nggak akan melukai kamu."

Kembali, Keano membawa Vivian ke pelukannya.

Sedangkan yang dipeluk terdiam gamang, tidak tahu harus segera menjauhkan diri atau justru menikmatinya. Tapi dirinya tidak bisa menampik kalau perkataan dokter Keano tadi terdengar begitu menggiurkan. Dirinya juga ingin merasa disayang, seorang Vivian rindu rasanya diharapkan seperti ini.

Tentang masa lalunya ... Mungkin dokter Keano tidak akan tahu kalau dia terus menyembunyikannya. Untuk sebentar saja, dia ingin tahu bagaimana rasanya memiliki seseorang setelah sekian lama sendirian.

Keano bisa merasakan kedua tangan Vivian balas memeluknya.

Menciptakan sensasi bungah yang terasa begitu menyesakkan dada. Ya ... Mungkin Vivian masih butuh waktu, tapi itu bukanlah masalah. Keano bisa terus menerus meyakinkannya saat Vivian merasa ragu. Asal gadis itu mau memberinya kesempatan, itu sudah sangat bagus.

"Saya harus bekerja, dok." Vivian berbisik di dadanya.

Dia tahu Vivian harus segera bekerja karena banyak pasien yang menunggunya di ruang operasi. Tapi biarkan kali ini saja, para pasien itu ditangani oleh dokter lain agar dia bisa menyimpan Vivian untuk dirinya sendiri sedikit lebih lama. "Sebentar aja ...."

Akhirnya Vivian memilih diam, entah karena permintaan dokter Keano atau memang dia nyaman dalam posisi ini. Yang jelas Vivian membiarkan lelaki itu terus memeluk dan menghirup rambutnya dengan lembut.

***

"Kamu liat tadi?" Rasya masuk ke dalam ruangannya dengan marah dengan Mega yang masih ketakutan mengikuti. "Ada hubungan apa mereka sebenarnya?"

Mega tidak menjawab. Hanya meringis canggung. Dia tidak menyangka kalau atasannya ini akan begitu frustrasi melihat dokter Keano berciuman dengan Vivian.

"Kamu sudah tahu hubungan mereka sebelum ini?" Rasya langsung memicing. Membuat yang ditatap demikian berjengit kaget. "Kamu dekat sama Vivian, kan? Kenapa kamu nggak kasih tahu saya?"

Menggaruk ujung kepala, Mega menjawab. "Saya ... Eung, juga nggak tau, dok. Vivi nggak cerita apa-apa selama ini." Meskipun dia tahu kalau hubungan antara dokter Keano dan Vivian memang terlihat dekat beberapa hari terakhir.

Rasya mengurut pelipis, sebelum dengan kasa membuka laci meja dan mengambil sebotol obat dari sana. Dia meminum tiga butir obat sekaligus dengan meneguk air rakus.

Di mata Mega, dokter yang biasa anggun dan selalu terkendali ini, kini terlihat seperti wanita patah hati yang menyedihkan. Bahkan, bukan sekali ini dia melihat dokter Rasya meminum obat anti depresannya tiap kala melihat perempuan lain yang mendekati dokter Keano.

Namun yang dikhawatirkan, Vivian saat ini ... Dalam bahaya.

***

Have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. - Steve Jobs

Btw mau ngucapin 'Selamat Hari Dokter' 😊

Revisi,
15 Juni 2020.

Doctor Lover'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang