Bab 30

259K 14.2K 83
                                    


***

Aku menarik tangan Keano menuju jembatan yang terbuat dari kayu. Sedikit berlari, kami mengarah ke tengah kawah di atas jembatan itu.

Sesekali memotret untuk mengabadikan gambar. Akhirnya kami sampai di ujung dengan alas yang lebih besar. Banyak muda-mudi yang berselfie ria di sana lalu menoleh ke arah kami– atau lebih tepatnya ke arah Keano.

Aku segera mengajak Keano menjauhi para remaja yang berbinar-binar itu. Menyuruh Keano untuk memotretku dengan latar belakang kawah yang indah. Pria itu menurut saja. Aku tersenyum puas saat melihat hasil jepretannya.

Aku kembali mengarahkan kamera. Mumpung masih berada disini. Di tengah danau putih yang merupakan kawah. Berdiri di atas papan kayu yang kuat dan kokoh untuk menopang.

Sepasang lengan langsung memeluk tubuhku dari belakang saat itu juga. Ikut melihat apa yang ada di kamera ponsel miliknya.

"Kamu sering ke sini?" tanyaku, masih dengan pandangan menuju ke ponsel.

Aku bisa merasakan kepalanya yang menggeleng pelan. "Jarang. Cuma sekali diajak Kara," gumamnya.

"Padahal tempatnya bagus banget. Kalau aku tinggal di Bandung, aku bisa ke sini tiap hari."

Pria di belakangku terkekeh pelan, "Makanya aku ngajak kamu ke sini, Vi. Mumpung lagi di Bandung. Aku tahu kamu bukan cewek yang hobi belanja atau nonton."

Aku semakin menekankan punggungku ke dadanya. Menatap hamparan indah di depan kami dengan leluasa. Berdua. Dan aku senang bisa menghabiskan waktu dengan Keano Bimasatya. Dokter super sibuk yang dulu sangat kaku walau hanya sekedar mengobrol. Aku tidak menyangka kalau pria kolot inilah yang pada akhirnya mampu merebut hatiku.

"Apa yang kamu rasakan saat bersamaku, Ken?" Aku bertanya di sela kesunyian yang kami ciptakan.

"Jantungku berdebar-debar. Kamu tahu? Aku bahkan masih merasa malu saat kamu menatapku lama."

"Itu kenapa pipimu kadang memerah?"

Kepala Keano bergerak menekan leher ku. Menyembunyikan wajahnya di antara leher dan bahu. Sepertinya dia tidak mau aku melihat wajahnya yang pasti sedang memerah sekarang. Seperti yang tadi aku katakan.

"Papa pasti mencari ku," kataku mencoba mengalihkan percakapan. Aku tidak mau bertanggung jawab kalau wajahnya lebih terbakar lagi.

"Hm, pasti. Aku menculikmu tanpa sepengetahuannya."

***

Bicara tentang Papa yang mengkhawatirkan ku langsung terjawab saat aku dan Keano kembali ke rumah dan melihat mobil Pajero sudah terparkir tanpa dosa disana.

Astaga~ pria tua itu berlebihan sekali sampai menyusul ku ke sini.

"Om sepertinya tidak sabaran sekali ya." Ucapan sarkasme Keano terdengar saat melihat Papa dan Om Seto mengobrol di ruang tamu. Jangan lupakan Arsen yang juga ikut duduk di sana.

Tatapan Papa memicing ke arah Keano. Membuatku meringis tidak enak karena sepertinya om Seto juga menyadari mata Papa yang sarat akan ancaman.

"Sore, sore!" Suasana tegang terpecahkan dengan suara lantang dari pintu. Anak remaja dengan pakaian kasual itu masuk dengan santainya. Menyapa sejenak sebelum melanjutkan langkah menuju dapur.

Aku melihatnya terheran-heran. Apa dia salah satu keluarga Bimasatya juga?

"Vi, ayo kita pulang," kata papa saat dia sudah berdiri. Aku mendongak, menatap Papa.

"Vivian pulang sama Keano, Om." Keano menyahut. Membuatku bingung ingin pulang dengan siapa. Gelengan tegas papa membuat nyaliku menciut ingin bersama Keano lebih lama.

"Nggak bisa. Kamu udah menculik anak saya. Vivian pulang sama saya."

Keano berdiri berhadapan dengan Papa. "Tapi Vivian berangkat sama Keano, Om. Pulangnya juga harus bareng dong," bantahnya tak kalah keras kepala.

Saat Papa akan menjawab lagi aku segera menahan lengannya. Kemudian menggeleng pelan saat Papa menoleh menatapku.

Melihat suasana yang mulai menegang, Om Seto ikut berdiri menengahi, "Sudahlah, Davis. Biarkan saja Vivian pulang sama Keano. Anakku nggak akan ngapa-ngapain."

"Nggak ngapa-ngapain gimana? Dia bahkan nyulik Vivian tadi."

Om Seto terlihat membuang napas kesal. Sepertinya menghadapi Papa yang keras kepala memang menyebalkan sekali.

"Pa," Aku menyela. Tidak mau papa semakin membuatku malu di hadapan keluarga Keano. "Aku pulang sama Keano aja. Lagian aku berangkat sama dia, masak pulangnya sendiri-sendiri?"

Akhirnya, setelah mengatakan beberapa bujukan papa menurut juga. Meski dengan berat hati pria kesayanganku itu tetap melangkah keluar setelah mencium keningku dan melayangkan beberapa ancaman kepada Om Seto ataupun Keano. Yang ditanggapi om Seto dengan memutar bola mata malas. Sepertinya Om Seto sudah sangat terbiasa dengan sifat Papa yang terkadang kekanakan.

Setelah kepergian Papa, aku memutuskan pergi ke dapur untuk membantu. Aku melihat anak remaja yang nyelonong ke dalam rumah tadi. Masih menikmati semangka segar di atas meja sambil memainkan game di ponselnya.

"Raf, sapa dulu kakakmu," tegur bu Rena membuat pemuda yang dipanggilnya 'Raf' itu menoleh kaget.

"Oh, sori." dia berdiri, kemudian mengulurkan tangan. "Gue Rafael. Sepupu kak Keano"

Aku menyambutnya dan menyebutkan namaku tentu saja. Setelah itu dia melanjutkan kegiatannya dan aku membantu bu Rena menyiapkan makan malam.

***

Done. Ternyata masih dikit ya? :(
Ide nya mentok cuma sampai sini.

Kalian bisa baca cerita lain tentang Rafael dijudul Developing.

Thx.

Doctor Lover'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang