Bab 42

232K 13.8K 105
                                    


***

Hari minggu, jam delapan pagi.

Vivian sengaja membawa Sasi ke pusat pembelanjaan kota. Membeli beberapa keperluan Sasi yang sudah habis. Semalam dokter Rasya menelpon, menceritakan kondisinya yang menjalani rawat inap di rumah psikiater kenalannya. Dan Vivian bersyukur dokter Rasya sudah baikan.

Dengan menggandeng Sasi Vivian melihat-lihat aneka ragam bedak bayi yang ada di rak. Mereka hanya berdua kali ini. Tanpa ditemani Keano ataupun Rima. Tadi kekasihnya itu bilang ingin menjemput saja setelah menjemput sang Mama yang pagi ini sampai di bandara. Sedangkan Rima, dia sudah pergi dengan pacarnya subuh tadi.

"Tante, mau es krim." Sasi menarik ujung bajunya sambil menunjuk stool es krim yang berada di depan area kafetaria.

Vivian meletakkan bedak yang tadi dipilihnya ke dalam keranjang sebelum menuruti kemauan Sasi. Bocah kecil itu langsung berlari antusias, menunjuk-nunjuk gambar es krim yang dia mau.

"Rasa coklat, Om. Rasa coklat!"

Sasi berteriak girang saat penjual itu memberikan es krimnya. Vivian sedang membayar saat tiba-tiba Sasi berlari dan berteriak.

"Papa!"

***

Lagi-lagi pria dengan kaus hitam itu melirik arloji. Berdecak singkat saat orang yang setengah jam lalu ditunggunya tak kunjung datang. Kini ia sudah berdiri Di depan HRV hitamnya sambil terus mengawasi pintu masuk Mall. Dan tidak ada tanda-tanda orang yang dikenalnya keluar dari sana.

Dia mengecek ponsel lagi. Panggilannya tak kunjung mendapat jawaban. Belasan pesannya pun belum ada yang dibaca.

Ck! Sebenarnya apa yang kekasihnya itu lakukan, sih?!

Keano ingin menyusul masuk, tapi dia tidak tahu pasti keberadaan Vivian di dalam Mall sebesar ini. Tidak biasanya juga gadis itu betah berlama-lama didalam sana.

Pria 30 tahun itu kembali masuk kemobil. Memutuskan menunggu fi dalam saja, sambil mengamati pintu mall. Ponsel tidak lepas dari genggamannya.

Dan akhirnya bergetar. Secepat kilat Keano mengangkatnya saat tertera nama Vivian.

"Kamu di mana?" Dia bertanya panik.

"Halo, Pak. Ini saya. Sekuriti di Armada Tosquare, Bekasi."

Benak Keano semakin cemas saat mendengar yang menelpon bukanlah Vivian.

"Bapak nemuin HP itu di mana?"

"Di tong sampah belakang Mall, Pak. Bapak bisa ke sini."

Tanpa basa-basi atau mematikan sambungan, Keano bergegas turun dari mobil. Berlari menuju yang sekuriti tadi katakan.

Dia terengah-engah saat sudah berdiri di hadapan seorang bapak-bapak yang masih menempelkan ponsel berlogo buah itu di telinga.

"Ini. Tadi saya dengar ada yang bunyi, makanya saya ambil." Bapak sekuriti itu menyerahkan ponsel milik Vivian kepadanya. Keano menerima dengan bingung.

"Bapak tau kenapa HP pacar saya bisa ada di sini?"

Pria paruh baya itu menggeleng, "Saya tadi lagi jaga di depan, terus kebelet. Di belakang sini jarang ada orang. Lalu saya denger hp itu bunyi di sini."

Penjelasan bapak itu membuat Keano semakin kalut. Ada apa dengan Vivian? Kemana perginya gadis itu? Kenapa juga dia membuang ponselnya di sini?

Keano bergegas pergi setelah mengucapkan terimakasih. Tujuan utamanya sekarang adalah satu: kantor polisi. Dia harus melaporkan ini dan segera menemukan Vivian.

***

Vivian berdiri kaku di depan sebuah rumah tua yang terlihat usang itu. Setengah tidak yakin kalau selama ini Beniko menetap di sana bersama istrinya. Dia menatap Beniko lagi. Pria itu berjalan di depannya sambil menggendong Sasi yang terlelap.

Bohong jika perasaannya tidak was-was saat ini. Dia dipaksa membuang ponselnya oleh Beniko jika dia ingin ikut. Dan tentu saja Vivian tidak bisa membiarkan Sasi dibawa begitu saja setelah selama ini dia berjanji akan menjaganya.

Dan di sinilah dirinya berada sekarang. Mengikuti Beniko memasuki rumah kecil seperti tidak terawat dan jauh dari tetangga itu.

Saat masuk ke dalam dia langsung melihat seorang perempuan muda dengan rambut sedikit kusut membuka pintu. Vivian perkirakan itu adalah istri Beniko. Dia benar-benar tidak menyangka mereka akan hidup kesusahan seperti ini. Terbukti dari penampilan istrinya yang tampak carut marut.

"Duduk situ." Beniko menggerakkan dagunya ke arah sofa hitam yang tampak lusuh. Dan mau tak mau Vivian segera mendudukinya. Dalam benaknya penasaran, sebenarnya apa yang pria ini inginkan?

Vivian semakin khawatir saat Beniko membawa Sasi masuk ke dalam kamar. Pria itu tidak keluar untuk waktu yang lumayan lama. Istri Beniko datang, kemudian duduk di sampingnya.

"Lo inget gue?" Pertanyaan pertama dari wanita itu membuat Vivian mengernyit. Dia menatap bingung.

"Maksudnya?" Sekilas. Wajah istri Beniko itu memang tampak familiar. Namun Vivian gagal mengingatnya.

"Gue Teya, Vi. Lo inget gue?"

Mata Vivian sontak terbelalak. Tidak mungkin dia melupakan nama yang sudah menghancurkan masa remajanya itu. Hanya saja, dia tidak menyangka penampilan Teya yang berubah seperti ini. Matanya semakin memperhatikan wajah Teya. Yang dulunya cantik dan selalu bersinar, kini berubah pucat dan sedikit gelap. Matanya juga sedikit memerah dan bengkak. Membuat Vivian sulit untuk mengenalinya. Ditambah daster kumal yang dipakai Teya, sangat berbeda dengan pakaian-pakaian mewah yang sering dipakainya dulu.

Vivian bingung, apa Beniko tidak mengurus istrinya dengan benar?

"Ini," Teya menyerahkan sebuah pistol kecil berwarna hitam itu ketangannya. Vivian yang menyadari itu senjata berbahaya, ingin langsung menghempaskan begitu saja. Tapi ditahan oleh Teya.

"Denger, Vi. Gue tau semua rencana Beniko sama Sofia ke elo. Dan itu sama sekali bukan rencana baik. Gue yakin setelah tau, lo akan tetap simpen benda ini." Suara Teya nyaris berbisik.

Kening Vivian mengerut saat Teya menyebut nama yang tidak begitu dikenalnya. "Sofia? Sofia siapa? Dan rencana apa yang lo maksud?"

"Sofia Kakak tiri elo. Dia berambisi bunuh elo karena udah ngerebut Papanya. Dan gue bantu ini bukan tanpa maksud, bawa gue pergi setelah semua selesai."

Vivian semakin kebingungan. Juga takut. Dia tidak mengerti rencana apa yang dibicarakan Teya. Dia menggenggam pistol itu erat. Sedikit terpengaruh dengan ucapan Teya. Meski begitu, dia tidak bisa percaya sepenuhnya. Perempuan itu pernah mengkhianatinya, bahkan menghancurkannya sampai titik terendah. Tidak ada jaminan Teya akan membantunya kali ini.

"Ini HP gue. Lo bisa hubungi polisi kalau memang keadaan mendesak. Beniko sama sekali nggak tau gue punya HP." Kali ini dia menyerahkan ponsel pipih itu kepada Vivian. "Gue harap, lo juga bisa ngeluarin gue dari sini."

***

Hi all, setelah sekian lama dokter Keano ngilang, apa nggak ada yang kangen? Wkwk.

With love,
Vidia.

27122018

Doctor Lover'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang