Hei, Doctor! 02

1.6K 75 1
                                    

Ayooo, vote komennya kencengin lagi dongggg 🤗

💮💮💮
 

Perpisahan adalah mimpi buruk untuk semua orang. Mau itu dipisahkan oleh keadaan, atau kematian. Tidak ada yang bahagia karenanya. Salah satu pasti merasa terluka. 
 
Kebanyakan hal yang paling menyakiti dari perpisahan adalah di saat kita ditinggal pergi pas masih sayang-sayangnya. Atau bahkan setelah sekian tahun bersama, perasaan sayang itu sama sekali belum pudar namun bertolak belakang dengan salah satunya. 
 


Akhirnya, hubungan mereka menjadi rapuh jika hanya salah satu saja yang memilih bertahan sedangkan yang satunya lagi berpikir bahwa perpisahan adalah yang terbaik. 
 
Ya, memang tidak semua bahtera bisa berakhir bahagia. Tidak semua rumah tangga mendapat ending yang sama. Itulah mengapa pernikahan bisa juga disebut ujian, tinggal bagaimana cara kita mempertahankannya. Yang kuat akan bersama sampai akhir, yang tidak tentu akan berpisah di tengah jalan. 
 
Pilihan kedua adalah yang paling menyakitkan. Apa lagi jika sudah terdapat buah hati di antara mereka. Bukan hanya orang tua, anak-anak pun akan memikul beban yang sama. Luka yang sama, dan berakhir sakit yang sama. 
 
Bagi anak, perceraian merupakan neraka. Menyaksikan kedua orang tua bertengkar setelah dulu penuh cinta merupakan siksaan batin yang menerjang sebegitu dahsyatnya. Sampai akhirnya merasa pasrah, bahwa mungkin, perpisahan adalah salah satunya.
 
Namun, bagi seorang Vivian Davis, yang pernah ditinggalkan tanpa kata, pernah diabaikan tanpa sebab, pernah tidak diperhatikan padahal dia sudah mencoba yang terbaik, adalah beban tersendiri yang luar biasa sakitnya. Tidak ada lagi kata untuk menjabar, tidak ada lagi air mata yang keluar.
 
Dan mengetahui fakta bahwa sang papa masih mengingat dan menyayanginya meski itu sedikit terlambat, dia merasa bersyukur sekali. Mendapat perhatian, serta curahan kasih sayang merupakan impiannya dari kecil. Dan kini, bukan hanya dari sang papa saja, melainkan juga suaminya. Lelakinya. Seseorang yang akan menemani hari-harinya sampai akhir hayat. Ya, semoga saja begitu.
 
Untuk itu, Vivian tahu sekali bagaimana perasaan kakaknya saat ini. Dia juga tahu bagaimana Sofia begitu mengidolakan sang papa sampai sedemikian rupa. Memuja dan bahkan rela berbuat apa saja demi mendapat perhatiannya. Dan di saat talak terucap dari bibir pria yang seumur hidup dipujanya, talak yang juga menyakiti wanita yang dicintainya, yang merupakan ibunya, pasti juga sama sakitnya seperti Vivian. 
 
Tidak ada yang mereka lakukan selain pasrah dengan keadaan. Pasrah dengan pilihan yang sudah orang tua tentukan. 
 
Vivian di sini, di sebuah bangku taman dekat dengan apartemen milik papanya, bisa melihat dengan jelas raut kesedihan itu. Terpancar dari wajah kakaknya yang ayu. 
 
Langkah Vivian berjalan mendekat. Semakin terlihat mata redup sang kakak dan juga tatapan kosongnya. Di taman kota yang gelap ini, Sofia berdiam diri. Usahanya membujuk sang papa berulang kali tidak membuahkan hasil sama sekali. 
 
Dan saat menyadari ada kehadiran seseorang dan ikut duduk di sampingnya, Sofia menoleh. Menemukan sang adik dengan jaket hangat memandang ke depan. Kenapa adiknya itu bisa tahu kalau dia berada di sini?
 
“Papa udah cerita.” Vivian membuka suara. Dia terus memandang ke depan. Tidak kuasa menatap langsung mata Sofia yang begitu memancarkan kesedihan yang nyata. “Tapi Kakak harus percaya, apapun yang terjadi, Papa tetap akan menjadi milik Kak Sofi.”
 
Ada senyum kecil terulas. Sofia tahu kalau adiknya sedang berusaha menghibur. Tapi itu lebih baik. Selama ini, tidak satupun yang bisa dia jadikan teman bercerita. Dia sendirian. Galen sibuk meraih mimpi, mama akan menangis jika Sofia bercerita pilu. Teman satu-satunya hanya Safira. Tapi mengetahui ada saudara sedarah yang juga pernah merasakan hal yang sama dan terlihat sangat menyayanginya membuat Sofia sedikit lega.
 
“Hm.” Sofia menyetujui ucapan adiknya. “Kakak mungkin banyak memaksa. Kakak juga udah belajar rela, tapi tetep aja kan, Vi? Rasanya tetap nggak ada yang berubah setelah Papa bilang mau menceraikan Mama.”
 
“Setiap anak yang mendengar itu pasti merasakan sakit, Kak. Walaupun sudah berusaha rela, tetep aja, kita nggak bisa membohongi perasaan kita sendiri.” Meskipun Vivian tidak pernah secara langsung mendengar kata perpisahan dari sang Papa, tapi tetep saja, nyerinya masih selalu terbayang sampai sekarang.
 
Kembali, Sofia mengukir senyum. Diliriknya wajah sang adik yang terlihat sangat cantik dari samping sini. Mirip dengannya. Dengan mata almon dan bola mata sewarna karamel, mirip sekali dengan matanya. “Kakak ... Bahagia bisa mengobrol berdua sama kamu lagi seperti ini, Vi,” ungkapnya penuh ketulusan. Keberadaan Vivian memang menjadi salah satu yang patut dia syukuri meskipun itu sedikit terlambat.
 
“Aku juga seneng bisa menghibur Kak Sofi.” Vivian tertawa kecil. Dia mendekatkan jarak tubuhnya agar lebih dekat dengan sang kakak, lalu berbisik. “Kakak ... Mau tau sesuatu?”
 
Sofia memandang Vivian dengan kening berkerut. Memandang dengan penuh tanya. “Apa?”
 
“Sebentar lagi ... Kak Sofi bakal jadi tante,” bisik Vivian. Setelah itu dia menjauhkan wajah sambil tersenyum melihat wajah kakaknya yang tercenung, sebelum kemudian membelalak kaget.
 
“Kamu—” Tatapan Sofia jatuh ke arah perut Vivian yang masih tertutup kardingan tebal. Sebelum kembali mendongak demi menatap wajah adiknya yang kini penuh senyum. Tentu, senyum itu segera menular ke bibir Sofia. 
 
Kedua kakak beradik itu kemudian berpelukan erat. Mendung yang menghujam seakan hilang secara perlahan setelah berita penuh matahari itu disampaikan oleh Vivian.
 
Demi apapun, Sofia masih tidak menyangka jika sebentar lagi akan mempunyai seorang keponakan. Membayangkannya saja sudah menyenangkan, bagaimana nanti ketika bayi kecil yang akan menyebutnya Tante di kemudian hari itu lahir ke dunia? Sofia bahagia.
 
“Kamu nggak ngerasain mual, kan? Ngidam yang aneh-aneh gitu?” Di dalam novela romansa yang selalu Sofia baca, ibu hamil kebanyakan mengalami hal serupa. 
 
Namun Vivian justru menggeleng. Masih dengan senyum terkulum, perempuan yang hari ini memakai kardingan tebal seputih salju itu menjawab, “Aku nggak ngerasain apa-apa sama sekali. Cuma kadang ngantuk, atau lapar yang berlebih. Kalau masalah morning sick dan ngidam, malah Keano yang ngerasain.”
 
“Emang bisa gitu?” Sofia pada dasarnya memang tidak terlalu paham kehidupan wanita hamil dan tetek bengeknya. Dia kira hanya wanita saja yang bisa mengalami morning sick atau ngidam. Ternyata suaminya juga bisa. Dia jadi lucu sendiri membayangkan bagaimana jika nanti Alvaro mengalami hal yang sama.
 
Menjawab pertanyaan sang kakak, Vivian mengangguk. “Kayaknya Kak Sofi harus segera nyusul, deh.”
 
Keduanya tertawa. Awan mendung sudah sirna. Saling berharap bahwa anugerah yang akan datang dapat membangkitkan kembali hari-hari ceria di antara mereka. 
 
Semoga.
 

💮💮💮

Doctor Lover'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang