Bab 26

271K 15.5K 71
                                    

Vivian pov.

***

Minggu ini, di saat hariku terbiasa bermalas-malasan atau tidur sampai siang harus dihancurkan dengan teriakan Rima yang memaksaku bangun dan menemaninya hangout. Aku benci dipaksa keluar dari ranjangku begini. Tapi menolak Rima bukanlah pilihan bagus karena gadis itu akan terus rewel dan akhirnya aku beranjak juga.

Masih dengan gestur malas aku memasang sneaker putihku sambil berjongkok di depan pintu. Dovy aku titipkan di tempat Salsa. Tidak mungkin aku membiarkan anjing besar itu sendirian dan mengacak-acak rumah jika kelaparan.

Aku melirik sinis ke arah Rima yang sudah tidak sabar menunggu sambil bersidekap. Biar saja. Toh, salah siapa mengajakku. Biasanya juga dia pergi sendiri.

Sambil menghentak kesal, aku akhirnya membuka pintu mobil juga dan duduk di samping kemudi.

"Lo, tuh. Seharusnya rajin-rajin refreshing, Vi. Biar otak lo nggak kolot. Lagian ini ibubkota, bukan Lampung. Lo bisa milih ke tempat mana aja yang lo mau," katanya setelah mobil membelah jalan raya.

"Lampung juga banyak tempat hiburan, kok. Pantai Pahawang, Way Kambas, mana lagi?"

"Serously lo mau ke tempat begitu? Maksud gue, tempat hangout buat orang dewasa kayak kita." Rima menyela gemas sehingga mukanya tampak tertekuk. Aku malas menanggapinya dan memilih memeriksa ponsel yang dari tadi aku abaikan.

Benar saja, empat panggilan tak terjawab dari Keano langsung terlihat begitu aku membuka layar. Sedikit merasa bersalah, aku mencoba mengirimkan pesan.

Vivian: Gmn, Ken? Aku dipaksa ikut hangout sama Rima.

Keano: kmn?

Vivian: gatau juga. Ini masih di jalan. Kamu masih tidur?

Dua bulan berhubungan dengan Keano, sedikit banyak aku tahu kebiasaan pria itu yang selalu bangun siang di saat weekend.

Keano: udh bangun. Nnt kalo udh smp kasih tau aku dmn lokasinya.

Wait,

Jadi dia berniat menyusul gitu? Aku menoleh ke arah Rima, "Rim, Keano mau nyusul."

Cewek itu segera menoleh cepat, "Nggak. Ngapain nyusul segala?! Ini me time kita," sangkal Rima kembali menggebu-gebu.

Aku mendesah keras, lalu kembali memberitahu Keano untuk tidak usah menyusulku. Tentu saja pesanku itu tidak lantas membuat Keano menurut. Terbukti dari ponsel ku yang berdering sesaat setelah pesanku masuk.

"Kenapa nggak boleh ikut? Kamu jalan sama cowok lain?" tuduhnya begitu sambungan terhubung. Mataku melirik Rima, sahabatku itu mengisyaratkan dengan gelengan kepala. "Cuma berdua, Ken. Aku dan Rima. Dia nggak mau jadi obat nyamuk kalau kamu dateng."

"Obat nyamuk gimana? Kita bisa jalan bareng bertiga, kan?" Keano dengan ketidak pakaannya.

"Tetep aja. Dia bakalan jadi obat nyamuk!" Aku menyela greget. Tapi rupanya cowok di sana belum juga mau menyerah.

"Kalau gitu aku bawa Kara. Kita bisa jalan berempat. Gimana?"

Aku menjauhkan ponsel dan meminta pendapat Rima yang dari tadi melirik penasaran. "Dia bawa Kara. Lo ada temen ngobrol."

Doctor Lover'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang