Hei, Doctor! 03

1.3K 37 0
                                    

💮💮💮

"Gimana? Oke semuanya?" Keano bertanya setelah mobil yang dia kendarai keluar dari gerbang gedung apartemen yang ditinggalin Davis. Dia datang untuk menjemput sang istri.

Dan syukurnya, Vivian mengangguk. Senyum tipis tersungging menandakan semua baik-baik saja. "Kak Sofi mungkin sedih, tapi dia mulai bisa menerimanya."

Keano mengangguk sekali, "Bagus kalau begitu."

"Aku juga ngasih tahu kehamilanku sama dia," lanjut Vivian mengusap perutnya.

Keano menoleh sekilas sebelum kembali fokus menatap jalan raya. "Gimana reaksinya?"

"Bahagia. Dia bisa senyum lagi." Lalu Vivian menguap. Sejak kehamilannya, jam tidurnya memang mengerikan. Bisa sepuluh sampai sebelas jam dalam sehari.

Dan melihat itu, Keano terkekeh. Mobil berhenti di lampu merah. Seperti biasa, dia bergerak mencondongkan tubuhnya demi menurunkan sandaran kursi milik sang istri. Membenarkan kancing jaket milik Vivian dan mendaratkan kecupan singkat di pipi.

Vivian terlelap tanpa menunggu lama. Membuat Keano mengulas senyum kecil sebelum meraih jemari Vivian dengan sebelah tangannya. Diletakkan jemari itu di atas paha Keano sebelum mobil melaju.

💮💮💮

Di jaman serba modern seperti sekarang, banyak sekali alat-alat medis yang diciptakan. Mulai dari pil tanpa air yang langsung meleleh begitu bertemu dengan air liur, hingga alat canggih layaknya pendeteksi virus sampai nano terkecil. Namun seiring dengan berkembangnya alat-alat kesehatan, berkembang pula penyakit-penyakit langka yang masih susah ditemukan obatnya.

Di Bimasatra Hospital sendiri ada banyak sekali orang-orang yang datang dengan penyakit baru, yang bisa disembuhkan hanya dengan pengobatan biasa, atau penelitian ekstra.

Layaknya sekarang, Keano mengamati kertas medis milik seorang pasien dengan keluhan yang mengarah pada gejala penyakit jantung. Bukan sesuatu yang baru memang, namun gejala seperti itu biasanya dialami oleh orang-orang lanjut usia, bukan remaja berumur enam belas tahun seperti ini.

"Dyah Ayu Kusumawati?"

Suara Vivian terdengar dari balik punggung Keano. Membungkuk sambil ikut mengintip berkas pasien yang baru saja dibaca oleh suaminya.

Keano yang mendongak menatap wajah sang istri bisa melihat kening Vivian ikut mengernyit. "Enam belas tahun?"

Mendesah, Keano mengangguk. Dia mendorong sedikit kursi putarnya ke belakang sebelum meraih tubuh Vivian untuk dia duduk kan di pangkuan. Lalu kembali memajukan tubuhnya demi meraih kertas milik pasien yang baru dibacanya hari ini.

Vivian ikut membaca. "Ini ... Sama seperti Raja." Dia menyebutkan nama mantan pasiennya beberapa tahun lalu yang sudah sembuh dari penyakitnya setelah melakukan cangkok jantung. "Mirip."

"Tapi dia masih enam belas tahun, ada tanda-tanda pembengkakan juga pada arterinya. Kalau dilakukan pencakokan seperti kasus Raja dulu, aku nggak yakin pembuluh darahnya masih bisa memompa."

Vivian terdiam. Jelas, penyakit jantung milik Dyah Ayu berbeda dengan penyakit milik Rajata. Kendati mereka sama-sama remaja, penyakit Rajata adalah faktor keturunan yang sudah terdeteksi sejak lama. Sehingga lebih mudah melakukan pemantauan dan penyembuhan. Sedangkan milik Dyah Ayu ini, dia baru saja memeriksakan diri. Dan sudah terdapat arteri yang membengkak di pembuluh darahnya. Tentu, dapat dilakukan upaya pencegahan jika dokter mengetahuinya lebih cepat.

Doctor Lover'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang