***
Pukul 10 malam, Vivian sibuk menelepon Rima di lobi rumah sakit. Tapi berkali-kali nomor sahabatnya itu tetap tidak ada jawaban.
Panggilan ke dua belas, baru nomor itu diangkat. Suara Rima terdengar remang-remang di keramaian dan musik yang berdendang keras. “Lo dimana?”
“Di Rainbow, kenapa?” sahut Rima menyebutkan nama club yang biasa sahabatnya itu kunjungi.
Vivian menggigiti kuku, merasa panik karena mendengar suara sahabatnya itu sudah sempoyongan di seberang sana. Rima tidak bisa dia andalkan untuk menjemputnya malam ini.
“Yaudah, gue tunggu di rumah.” Lalu sambungan diputus olehnya.
Terpaksa, Vivian harus menginap di rumah sakit malam ini. Dia tidak yakin masih ada taksi jam segini, mungkin ada, tapi jiwanya yang penakut tidak membiarkannya naik taksi sendirian malam-malam begini. Ya, menginap di rumah sakit sambil membantu memeriksa pasien adalah pilihan yang tepat setiap kali sahabatnya itu sedang tidak bisa diandalkan untuk menjemputnya.
“Vivian.” Suara dokter Keano memanggilnya, Vivian menoleh dan langsung berhadapan dengan atasannya.
“Nunggu teman kamu itu?” Atasannya bertanya lagi.
Vivian tak kunjung menjawab. Masih berdiri canggung karena teringat ucapannya yang kurang sopan saat di kantin rumah sakit tadi, “Saya menginap disini saja, dok.”
“Loh? Kenapa?” Pertanyaan dokter Keano yang terdengar sangat ingin tahu terasa mengganggunya.
“Temen saya nggak bisa jemput.” Vivi menjawab jujur. Toh, tidak untungnya juga kalau dia berbohong kepada dokter Keano.
“Hm ... Gini,” dokter Keano memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, terlihat sedikit tidak nyaman dengan apa yang akan dirinya sampaikan, “Gimana kalau saya antar kamu pulang? Kebetulan, ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu.”
Mendengar ajakan dokter Keano, atasannya yang kaku, yang hanya mengajaknya berinteraksi di ruang operasi saja-kejadian-di-kantin-tadi-tidak-di-hitung. Dan sekarang pria itu repot-repot ingin mengajaknya bicara dan mengantarnya pulang, malah terlihat mencurigakan di telinga Vivian.
“Kalau cuma ingin bicara, apa nggak sebaiknya disini saja, dok?” Vivian menunjuk sofa yang terletak disampingnya.
Bicara versi dokter Keano adalah tentang seputar pasien dan operasi, jadi jika ingin ada yang pria itu diskusikan lebih baik di Rumah sakit saja. Alasan Ke-2, karena rumah dokter itu sendiri berada di kawasan Kemang, berlawanan arah dengan tempat tinggalnya yang berada di daerah Pejaten.
“Sekali saja, Vi. Saya ingin bicara.” Tangan Keano bergerak meremas rambutnya. terlihat begitu frustrasi. Membuat Vivian bingung apa yang menyebabkan atasannya terlihat seperti itu.
Akhirnya setelah beberapa pertimbangan, Vivian mau mengikuti dokter Keano berjalan menuju HRV hitam miliknya. Hatinya masih ragu untuk membuka pintu. Apa mungkin, dia sakit hati gara-gara di kantin tadi?
Mobil HRV hitam yang ditumpanginya mulai melaju halus membelah jalan raya yang tetap ramai meski sudah larut malam, seandainya Rima tidak pergi ke kelab dan menjemputnya seperti biasa, dia pasti bisa pulang cepat tanpa terjebak situasi canggung dengan dokter Keano.
Vivian tidak tahu kemana dokter Keano akan membawanya, lima belas menit berada di tengah kemacetan dan jalan raya yang sangat padat, akhirnya Vivian tahu kemana tujuannya. Dokter Keano mengerem mobilnya di pinggir jalan, dekat danau Situ Lembang daerah Menteng.
Suasana masih ramai meski sudah pukul setengah sebelas. Banyak muda-mudi berkeliling sambil menikmati jajanan-jajanan di pinggir trotoar. Jadi Vivian tidak perlu khawatir seandainya dokter Keano ingin berbuat macam-macam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doctor Lover's
Romance🍁Doctor Lover's🍁 Vivian bekerja di sebuah rumah sakit keluarga milik Bimasatya. Pada masa internshipnya, dia ada di bawah bimbingan langsung si putra kedua Bimasatya, Keano. Keduanya memiliki perasaan satu sama lain setelah beberapa hari bekerja...