Bab 21

274K 16.2K 98
                                    


***

Rumah megah super mewah. Kendaraan berjejer di garasi seolah menunggu untuk dinaiki. Semua orang akan langsung mengangguk antusias saat diberi pilihan untuk tinggal di istana elegan seperti itu. Namun suasana yang tegang terasa sangat kontras dengan meja makan besar serta udara dingin yang menyapu segar. Di dalam sana, empat orang duduk kaku dengan pikiran masing-masing. Masih tidak habis fikir dengan perkataan salah satu orang di antara mereka.

"Papa mau mencarinya lagi? Untuk apa, Pa? Hidup kita udah tenang selama 10 tahun ini." Perempuan muda berumur 29 tahunan itu mendesah berat. Dia sama sekali tidak mengerti keinginan papanya itu. "Papa nggak pernah membahasnya lagi, kan? Kenapa tiba-tiba Papa mau mencarinya?"

Pria paruh baya yang duduk di ujung menggeleng lemah. Dia sudah menduga kalau reaksi keluarganya akan seperti ini. Tapi dia juga tidak ingin menyia-nyiakan keadaan untuk bertemu putri bungsunya lagi. Dia begitu merindukannya. "Maafin papa. Tapi Papa tetep akan ke Jakarta. Papa harus menebus semua kesalahan Papa."

"Kesalahan apa lagi Pa ...? Ma ... Ayo ngomong sesuatu ...." Perempuan muda kembali menggoyangkan tangan sang mama yang dari tadi duduk diam. Sama sekali tidak merespon.

"Udahlah, Sof. Kita udah terlalu banyak melarang," sela lelaki yang duduk di hadapannya.

"Pa, apa kita di sini belum juga cukup? Kenapa Papa masih mau cari mereka? Apa masih karena cinta lagi?" Sofia masih belum berhenti. Gadis cantik bertubuh tinggi itu bahkan sampai berdiri untuk bisa membujuk papa nya.

"Sudah, Sofia. Terserah saja mau papa mu. Sekeras apapun kamu melarang, dia nggak akan menurut!" Kini, ibu di antara mereka yang menyahut. Perempuan paruh baya dengan setelan mewah itu membanting kedua sendok dan garpunya sebelum pergi.

"Kalau Papa tetap mau pergi, aku nggak akan maafin Papa!" Sofia berujar tajam sebelum mengikuti jejak ibunya.

Sekarang hanya ada dua pria yang tersisa. Keduanya sama-sama menghela napas berat.

"Kamu juga mau melarang?" Davis bertanya kepada putra sulungnya, tatapanya terlihat sendu. "Bagaimana pun juga, dia adikmu."

"Aku nggak larang, Pa. Udah cukup selama ini kita memaksa Papa untuk nggak pergi." Galen mengeluarkan sebatang rokok dari dalam sakunya. Pria tiga puluh dua itu dengan acuh menyulut batang itu di hadapan sang Papa.

Davis yang sudah biasa diperlakukan seperti itu, hanya mendengus tidak peduli. "Papa akan berangkat malam ini. Dengan atau tanpa izin mamamu."

"Hm. Hati-hati."

***

Kenao mengetik dengan tidak sepenuhnya berkonsentrasi. Pikirannya terbagi. Dia benar-benar tidak habis fikir dengan Vivian yang seharian ini mengabaikan pesan dan teleponnya. Astaga, sebenarnya apa sih yang dia lakukan? Apa segitu sibuknya sampai pesan kekasihnya dia abaikan seperti itu?

Atau karena pasien muda berprofesi sebagai CEO itu? Setelah bocah berumur 17 tahun, kemudian pria yang patut dia waspadai malah muncul lagi.

Dan sifat posesifnya tanpa sadar muncul kepermukaan. Dari pada melihat Vivian digoda pria itu, Keano lebih baik mengurungnya saja di sini agar dia bisa menjaganya dari tatapan-tatapan mesum para buaya itu.

Keano kembali mendesah untuk ke sekian kali. Dia memundurkan laptop, memutuskan menyerah kepada pekerjaan karena pikirannya tidak berada di situ. Lalu pria dengan kemeja biru gelap itu mulai menggoyangkan tubuhnya di atas kursi putar. Bingung ingin melakukan apa untuk menenangkan kepalanya.

Doctor Lover'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang