Bab 7

383K 23.5K 240
                                    


Vivian PoV.

***

Seminggu pasca kejadian itu terjadi, aku sama sekali tidak melihat dokter Keano di mana-mana. Seolah-olah dia sengaja menghilangkan diri dariku atau mungkin sedang sibuk dengan perusahaannya sehingga tidak mempunyai waktu untuk memeriksa pasien. Dokter Rasya juga sudah mendapatkan posisinya kembali, membuatku tidak perlu repot-repot untuk bertegur sapa dengan dokter menyebalkan itu lagi.

Aku tidak peduli sebenarnya, atau berusaha untuk tidak peduli. Sudah aku putuskan untuk membuang jauh-jauh ingatanku selama satu hari itu. Toh, aku juga sudah tidak menjadi bawahannya lagi. Hidupku akan kembali normal seperti biasa.

Seperti hari ini. Aku menghabiskan pagi weekend-ku dengan membawa Dovy jalan-jalan mengelilingi taman komplek dekat indekos ku. Anjing ber ras bulldog berwarna cokelat itu terlihat antusias saat aku memberinya satu kotak besar sereal rasa vanila.

"Hei, Besar. Kamu nggak malu sama anggora cantik di depan sana?" Aku terkekeh melihat Dovy yang lebih memilih sereal miliknya dari pada mendengar ucapanku.

Sengaja aku mengambil kotak serealnya, dan meletakkan di bangku sampingku. Alis Dovy langsung bergerak-gerak lucu.

"Kamu mau ini?" Kepala Dovy mengangguk sekali. Rima kadang memang beralih profesi menjadi guru dadakan Dovy, sampai dia bisa sepintar ini.

"Kamu akan mendapatkannya." Aku menyerahkan sereal itu kembali.

Memang hanya Dovy yang mampu memperbaiki moodku yang kadang hancur seminggu ini. Dovy terlihat begitu senang saat aku pulang kerja jam 5 sore untuk pertama kali. Aku merasa bersalah karena sering mengabaikannya.

Dan di sini, melihat Dovy memakan sereal dengan lahap, membuatku bangga pada diri sendiri. Seolah aku merasa seperti seorang ibu yang berhasil membahagiakan anak kesayangannya.

Dovy juga anjing yang sangat protektif, terbukti dari caranya yang selalu menggonggong setiap kali ada laki-laki yang ingin menggangguku. Seolah tahu, kalau aku sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun.

Makanan kesukaaan sudah habis, anjing besar itu mulai naik dan duduk di sampingku. Bersiaga dan bersiap menggonggong lagi kalau ada orang yang dianggapnya 'musuh'.

"Kamu pasti kesepian banget, ya? Maaf. Mama janji nggak bakal biarin kamu sendirian di rumah lagi." Tanganku bergerak merapikan bulu halus di sekitar lehernya. Dovy merasa nyaman, karena dia langsung menjatuhkan tubuhnya dan menggeliat manja. Tanganku pindah menggelitik perutnya.

"Hai! Vivi, kan?"

Sosok cewek cantik dengan dress pink itu menyapaku.

Aku tahu dia. Kara. Adik dokter Keano yang ikut memergoki kami minggu lalu.

Kara memegang tali agar anjing Pudel miliknya agar tidak lari ke mana-mana. Aku langsung menggeser Dovy dan menyisakan tempat duduk untuk Kara. Dovy menggeram waspada, dan aku mengusap kepalanya untuk menenangkan.

"Well, selera kamu aneh juga ya." Kara menatap geli kearahku dan Dovy. Aku tahu apa yang dimaksud 'aneh' olehnya.

"Kamu kok bisa di sini?" tanyaku.

"Hm ... Aku cuma mau ngajak jalan-jalan Shena aja, sih. Kata kakak, ada taman bagus dekat sini." Mata Kara melirik ke arah anjing kecil yang sedang berputar-putar mengelilingi kaki bangku. Membuat talinya menjadi terbelit.

"Dokter Keano?" Aku bertanya apa yang dimaksud 'Kakak' oleh Kara adalah dokter Keano.

"Ya siapa lagi yang emangnya pernah ke sini selain kak Ken?"

Suasana hening untuk beberapa saat, hanya suara milik Shena yang sesekali menggeram sambil bermain di bawah sana.

"Vi ... Kamu ada masalah sama kakak?"

Aku menoleh mendengar pertanyaan itu, terlalu cepat sepertinya karena tatapan Kara semakin terlihat curiga.

"Aku udah tahu hubungan kalian. Kakak udah cerita setelah aku paksa mati-matian. Aku mulai curiga saat dengar beberapa suster gosipin kalian, dan ... Kamu baru kerja empat bulan yang lalu di rumah sakit!"

Aku diam saja, menyimak apa yang ingin Kara sampaikan.

"Tapi aku hampir percaya sama omongan kakak, karena malam itu aku juga liat kalian di kantin, kalian berdua terlihat lagi ... Kasmaran? Kakak terlihat lepas dan nggak sekaku dulu. Aku yang paling tahu kak Ken, Vi. Kakakku itu butuh waktu lama untuk mencintai seseorang. Dengan kak Rasya, dia suka kak Rasya dari umurnya 13 tahun. Lalu Kak Ella, butuh waktu empat tahun buat kak Ella luluhin hati kakak, meski kakak udah jadi suaminya."

Aku tertegun. "Maksud kamu ... Mereka menikah tanpa cinta?"

Kara menggeleng, "Lebih tepatnya, hanya kak Ella yang mencintai kakak. Sedangkan kak Ken sendiri ...." Kara mengangkat bahu seraya tersenyum sedih. "Saat itu kak Ella menderita sakit parah."

Dan untuk ke sekian kalinya, ucapan Kara berhasil membuatku tertegun lama.

"Dan kamu, hanya butuh 4 bulan untuk membuat kakak menjadi seperti dulu lagi."

Namun perkataan Kara yang ini, buru-buru aku menyangkal. "Gimana kamu bisa tau kalau dia mencintaiku?"

Wajah Kara yang cantik itu mengukir senyum menenangkan, "Itu karena kamu belum lihat kondisi Kakak yang sekarang. Dia kacau, Vi. Aku tahu dia jatuh cinta, dia hanya masih belum mau mengakui perasaannya. Kamu tahu, meski udah menyangkal mati-matian dia tetap tidak bisa menahan diri untuk tidak memantaumu lewat CCTV."

"Apa?"

Kara segera berdiri, kemudian menepuk pelan pundakku, "Aku harap kamu segera menjenguknya di ruang kerja. Dia pasti senang karena kamu tiba-tiba ada di sana."

Kara melempar senyuman kecil sebelum melangkah anggun meninggalkanku dengan kesyok-an yang ada.

***

Mobil milik Rima sudah terparkir rapi di halaman indekos. Menandakan Rima sudah pulang dari kencan butanya.

Dan benar saja, sahabatku itu sudah tengkurap sambil memainkan ponsel di atas sofa.

Aku melirik jam dinding. Jam setengah enam. Lumayan lama juga aku bermain dengan Dovy di Taman Komplek itu. Hampir seharian.

Selesai mandi, aku bergabung dengan Rima di sofa. Masih melilitkan handuk di kepalaku.

"Tadi ada cowok ganteng nyariin lo," ucap Rima masih fokus dengan ponselnya.

"Siapa?"

Rima mengangkat bahu, "Bos lo, dokter ganteng itu. Yang pake HRV, hidungnya bangir, bening, berotot–"

"Dia ngomong apa?" Aku hanya berniat memotong kalimat Rima yang semakin melantur itu.

Rima melempar ponselnya sembarangan, "Nggak tau juga. Gue cuma merhatiin bibirnya yang seksi abis ituuuu."

Aku mengangkat sebelah alis, Rima sedang menggigiti bantal karena saking histerisnya melihat dokter Keano mampir ke kosan kami.

Tunggu! Dokter Keano?

"Yang gue denger, katanya dia pergi sebentar. Abis magrib bakal ke sini lagi."

"Hah?!"

***

Setiap apa-apa yang ingin kamu lakukan, pikirkanlah dengan matang.

Karena yang di atas, akan merasakan jatuh.

Yang terbang, akan merasakan tenggelam.

Yang manis, akan merasakan pahit.

Tidak ada di dunia yang namanya kekal, karena ... Karma itu ada.

Kamis 6 september 2018

00:01 gewwlaaaaaaaa.

Revisi,
8Juni2020.

Doctor Lover'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang