Bab 24

248K 15.4K 35
                                    


***

Sudah tiga hari lamanya dia dan Keano tidak bertegur sapa. Jangankan basa-basi seperti biasa, Vivian bahkan tidak melihat pria itu sama sekali.

Apa Keano marah karena Vivian masih belum bisa mempercayainya? Tapi, kan bukan itu masalahnya! Dia hanya belum siap ditinggalkan setelah Keano mengetahui semua masa lalu nya yang kelam. Dia tidak ingin dicaci seperti dulu lagi. Saat Devon dengan kejam membeberkan statusnya kepada seluruh penghuni sekolah. Membuatnya stres hingga hampir memutuskan untuk berhenti sekolah saja.

Vivian yakin Keano tidak akan berpikiran dangkal seperti itu. Pria itu berpendidikan, tidak mungkin bertingkah kekanakkan seperti yang Devon dan Teya lakukan. Namun tetap saja! Dirinya tidak ingin Keano meninggalkannya. Vivian ingin Keano terus bersama dirinya.

Tapi ... Apa mungkin? Keano yang lahir dari keluarga berkasta tinggi mau menerima statusnya yang seperti ini? Bahkan sampai sekarang, Vivian tidak tahu mama dan papanya mempunyai akta nikah atau tidak.

Kedua tangannya yang bertumpu pada meja kerja kembali meremas rambut. Dia tidak akan konsen bekerja jika terus seperti ini. Lagi pula kenapa papanya muncul begitu saja seperti tiga hari yang lalu, sih? Vivian bukannya tidak mau bertemu sang papa lagi. Dia ingin, tapi tidak di depan Keano.

Suara ketukan pintu menyadarkannya. Lalu sosok Mega muncul dengan ekspresi khawatir. "Bokap lo dateng lagi."

Oh ya, papanya itu memang datang lagi kemarin. Tapi Vivian masih enggan untuk menemuinya. Alasannya, karena takut berpapasan dengan Keano. Dan sepertinya sekarang sudah tidak ada gunanya lagi untuk menghindar. Di samping memang merindukan papa, dirinya juga yakin Keano tidak berada di rumah sakit hari ini.

Dia berjalan ke arah lobi. Dari kejauhan Vivian sudah bisa melihat Davis dan pria tidak dikenal duduk tenang di sana.

Davis refleks berdiri saat matanya menangkap Vivian dalam jarak 10 meter. Vivian membuka mulut saat sudah benar-benar berdiri di depannya. Sumpah mati Davis hampir saja tidak bisa menahan diri untuk memeluk sang putri.

"Kita bicara dibruanganku saja, Pa."

***

"Ruanganmu bagus," sepi, dan kosong.

Vivian tersenyum kecut. Mengetahui apa yang ada di benak papanya. "Setelah 10 tahun, apa yang membuat Papa menemuiku lagi?" Dia memutuskan untuk tidak basa-basi.

Pria tua di hadapannya tampak menghembuskan napas lelah. Mengamati Vivian beberapa lama dengan sorot bersalah. "Maafkan Papa."

Hanya itu? Di saat Vivian menginginkan penjelasan dengan segera tentang kenapa papa tidak pulang, dan memperdulikannya lagi. Setelah sepuluh tahun, kalimat yang dilontarkan hanya itu? Vivian tidak mampu menyembunyikan rasa kecewanya.

"Kalau Papa ingin memastikan aku masih hidup, Papa sudah melihatku sekarang. Jangan merasa bersalah, hidupku baik-baik saja tanpa Papa."

Ya, tentu saja Davis tahu putrinya baik-baik saja. Tapi dirinya yang terluka tanpa Vivian. Seandainya saja dia bisa lebih adil sedikit saja, putrinya pasti tidak akan seterluka ini. Lalu sekarang? Apa yang harus dia lakukan untuk meminta maaf atas semua yang dia lakukan?

"Papa rindu kamu, Vien." Matanya kembali berkaca-kaca saat menyebut nama kesayangannya untuk Vivian.

Gadis itu tampak melamun di tempatnya. Davis memanfaatkan kesempatan itu untuk menyusuri wajah sang putri.

Hidung kecil mancung dengan pipi tirus. Mata bulat bernetra coklat sama seperti Sofia. Dia benar-benar anaknya. Lalu kenapa dia dulu mampu menelantarkan putrinya sendiri. Davis benar-benar menyesal.

"Kenapa harus aku?" Vivian berbisik tanpa sadar. "Kenapa harus aku yang jadi anak Papa? Kenapa nggak orang lain aja?"

"Vi ...." Dia bergerak mendekat. Ingin memeluk Vivian tapi juga meragu. Apalagi saat Vivian menangkup wajahnya dan mulai terisak pelan.

"Aku ketakutan. Mereka semua ngatain aku. Mereka benci status ku. Aku takut semua orang akan pergi meninggalkanku sendirian, Pa .... "

Davis tidak tahan lagi. Tubuh tegapnya segera meraih sang putri untuk menenangkannya. Ikut larut dalam tangisan Vivian yang terasa mencabik hatinya. "Maafin Papa ...." Dia berkata untuk ke sekian kalinya.

"Mereka bilang aku anak haram. Mereka benci aku karena aku bawa sial. Bahkan Mama mulai ketakutan saat melihatku ...."

Davis menggeleng, mengeratkan dekapannya. "Kamu bukan anak haram! Kamu anak Papa. Siapa yang berani mencacimu, Nak? Bilang sama Papa!" Dia bersumpah akan menghabisi siapapun yang berani menyakiti anaknya.

Tapi Vivian tidak menjawab. Gadis kecilnya itu terus menangis sampai tertidur. Arsen yang dari tadi berada di luar, masuk saat situasinya sudah tepat.

"Dia tertidur," gumam Davis seolah Arsen tidak melihat keadaan putrinya.

"Apa kita perlu memindahkannya?"

"Tidak usah. Di sini saja. Om yakin dia susah tidur beberapa malam ini," bantah Davis.

Arsen menurutinya dan langsung duduk di sofa depan Davis. Mengamati ayah dan anak itu lekat-lekat. "Dia mirip sama Om."

"Tentu saja. Dia putri ku."

"Lalu apa yang membuat Om meninggalkannya?" Arsen tahu ini lancang. Tapi dia benar-benar sudah tidak tahan untuk bertanya. Selama ini Davis terus bungkam, atasannya itu hanya sering mengatakan merindukan anak bungsunya. Sama sekali tidak bercerita mengapa dia meninggalkanya sepuluh tahun tahun lalu.

Bibir Davis menyunggingkan senyum getir. "Om nggak bisa menjawab pertanyaanmu, Arsen."

***

Apa dia sudah keterlaluan?

Membentak Vivian memang hal yang tidak bisa dibenarkan. Tapi dirinya memang kesal mengetahui Vivian masih belum bisa mempercayainya. Sebagai lelaki, Keano ingin menjadi satu-satunya pria yang dapat Vivian andalkan.

Egonya terluka mengetahui Vivian masih menyimpan seribu rahasia di saat Keano sudah mengungkap segala tentang hidupnya kepada gadis itu.

Tapi, salahkah dia? Apakah dia terlalu memaksa? Perlukah dia menunggu gadisnya untuk siap bercerita? Ahh ... Seharusnya memang itu yang dia lakukan. Bukan memaksa atau membentak seperti kejadian tiga hari lalu. Apalagi dia sama sekali tidak keluar dari apartemennya karena terlalu kalut. Dia harus meminta maaf, kan? Dia akan menunggu sampai Vivian siap bercerita tentang masa lalu nya.

Matanya melirik jam dinding. Pukul tujuh malam. Dengan sigap dia meraih jaket kulit dan kunci mobilnya sebelum melesat pergi. Dia akan menemui Vivian malam ini juga.

***

Di sini, di dalam remang-remang kegelapan sebuah rumah kumuh yang berada di pinggiran kota, pria berbrewok lebat itu menghembuskan rokoknya dengan kasar.

Di tangan kirinya, ada sebotol minuman keras yang sesekali di teguknya dengan rakus.

Gurat-gurat wajahnya tampak menyeramkan dengan alis menukik tinggi. Dia tampak kesal sekali hari ini.

"Apa cara gue selanjutnya?" Dia bergumam kepada dirinya sendiri. Sambil sesekali meludah. "Gue nggak bisa hidup kere kayak gini terus. Gimanapun caranya, gue bakal tetap rebut Sasi dari tangan Rasya."

Alis kusamnya menyatu. Ekspresi nya lebih terlihat serius dari sebelumnya.

"Gimanapun ... Gue ayahnya, kan?" Bibirnya tersungging senyum miring yang mengerikan.

***

Doctor Lover'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang